Dua hari lewat. Tak ada selentingan tentang kedatangan Kapten Herman dan pasukannya.
Ini sudah terik. Keringat Gladys menumpuk di dahi, membasahi kerudung hitam yang dia pakai. Mengalir keringat itu sampai kening, lalu jatuh menetes, sesekali dia usap dengan lengan baju. Dua tangannya sibuk menggali tanah.
Hari ini mereka berniat memperluas lahan untuk ditanami bibit apel. Namun konsentrasinya berampak tak karuan. Memikirkan peperangan semalam. Apa sudah berakhir? Apa Kapten Herman dan pasukannya menang? Kenapa mereka belum juga kembali? Tak terhitung sudah dia menoleh ke hutan, berharap satu atau dua tentara muncul di sana, kembali dengan selamat. Tapi sampai sekarang belum juga tampak batang hidung mereka.
“Aku sudah dapat enam lubang, kau baru dua.” Marlina tak jauh darinya berkacak pinggang. Lantang bicara. “Apa yang kau lamunkan, Gladys?”
Sejenak diam, Gladys kembali menggali tanah. “Pertempuran di markas Jepang. Semoga Kapten Herman dan pasukannya berhasil meringkus mereka.”
Marlina mengucap amin. Lalu melompat sejengkal ke samping, mengukur jarak antar lubang, dan kembali menggali tepat di telapak kakinya berpijak. “Insya Allah mereka tidak apa-apa. Mereka cukup banyak. Persenjataan lengkap. Tinggal strategi yang dipakai kapten saja.”
Ucapan Marlina benar juga. Lagipula, strategi perang gerilya sangat cocok diterapkan melawan Jepang. Mereka suka mabuk di malam hari. Tentu kesempatan itu tidak akan disia-siakan Kapten Herman dan prajuritnya. Gladys hanya tersenyum pendek, kembali mengeduk tanah.
Tak lama berselang. Ketika mereka berdua sibuk membuat lubang-lubang untuk bibit apel. Beberapa warga jauh di sana lantang berteriak. Memberitahukan seisi desa bahwa Kapten Herman dan pasukannya telah kembali. Gladys dan Marlina mendengar suaranya samar-samar. Kompak meletakkan sekop, bangkit, lari-lari kecil menuju ke tengah-tengah desa. Mendekati mereka yang berteriak-teriak tadi.
“Mereka masih di hutan. Aku melihatnya tadi.” Salah satu dari mereka bicara, dikerumuni banyak orang, termasuk Gladys dan Marlina.
“Aku ke sana dulu!” Gladys beranjak menuju tepi hutan. Banyak warga berbondong-bondong penasaran dengan hasil peperangan semalam. Mereka mengikuti Gladys.
“Akan kupanggil Bapak!” Marlina menuju ke arah berbeda, lari memanggil Kyai Hisyam.
Puluhan orang berkumpul di tepi desa. Menanti kedatangan Kapten Herman dan pasukannya. Banyak warga berbondong-bondong membawa teko berisi air putih dan beberapa gelas, senampan singkong dan jagung rebus. Siapa tahu para tentara lapar dan haus, butuh makan minum.
Benar apa kata orang itu. Sekian menit mereka berdiri mematung, melihat ke arah hutan, tiba-tiba nampak beberapa tentara berjalan terseok, mendekat ke arah desa. Satu demi satu bermunculan dari kegelapan hutan, hingga sampailah mereka di desa. Orang-orang menyambut dengan panik. Mereka luka-luka, lapar dan haus. Penduduk yang laki-laki sigap menolong pasukan yang terluka, yang perempuan menyiapkan minum.
Sedikit sekali yang datang. Beberapa orang digotong karena luka di kaki dan tangan. sebagian lain tak begitu parah. Mereka bukan main leganya sampai di desa ini dengan selamat, berderai air mata mereka melampiaskan kebahagiaan. Sekalipun dalam tangis itu ada kepedihan karena tak sedikit tentara yang harus ditinggal. Sebab telah gugur berselimutkan darah. Demi membela bangsa.
Kyai Hisyam baru tiba, didampingi beberapa santri dan juga Marlina. “Innalilahi wa innailaihi rojiun.” Kalimat itu lirih terdengar dari bibirnya. Mengelus dada, menitikkan air mata menyaksikan kondisi tragis para tentara yang kembali.
Gladys tidak melihat kapten. Dan jumlah personil yang datang pun tak sampai dua puluh. Sangat sedikit dari jumlah 67 kemarin. Dia mendekat ke salah satu tentara yang sedang dirawat. Kakinya tertembak, dia rela menahan sakit berjalan pincang dari markas Jepang ke desa ini. Gladys mengambil air yang sudah disiapkan, memberikannya ke tentara itu.
“Mana yang lain?”
Tentara itu meneguk air sampai habis. Menggeleng pelan, menampakkan raut perih yang mendalam.
“Kapten Herman? Hadi?”
“Mereka masih di belakang. Membawa Jenderal Hitoshi, juga beberapa tawanan Jepang yang masih hidup.”
“Kalian sedikit sekali yang kembali?”
“Kami kalah jumlah. Datang saat mereka mengadakan pesta besar. Maka sekalipun bergerilya, tetap saja tentara Jepang punya waktu untuk bersiap siaga.”
Salah seorang warga membawa gunting, benang dan catut, hendak melakukan operasi kecil. Mengambil peluru yang menembus kakinya. Gladys menghindar, tak mau melihat operasinya. Dia membaur dengan semua penduduk. Membantu jika ada yang butuh air, butuh makan. Ramai tepi desa. Pak Kyai juga tak tinggal diam, ikut pula membantu.
Satu demi satu tentara kembali muncul dari dalam hutan. Sampai tiba-tiba Gladys yang tengah sibuk merawat luka kecil seorang tentara, tak sengaja melihat kedatangan Kapten Herman dan beberapa pasukan lain. Mereka menyeret pria gemuk yang kedua tangannya diborgol. Gladys melangkah mendekati mereka, tertegun melihat wajah pria gemuk itu yang rusak, penuh luka jahit. Itu Jenderal Hitoshi.
Sampai jarak dua meteran, Gladys berhenti, dua matanya membara. Jenderal Hitoshi mengambil napas panjang, keringatnya sampai membasahi baju dan celana. Dua matanya mengarah ke Gladys, menatap lekat-lekat, dua detik kemudian terdengar tawa bengis dari mulut baunya. Tatapan Jenderal Hitoshi seperti ada dendam yang terpendam.
“Akhirnya kita bertemu lagi gadis cantik,” katanya. “Demi Dewa Matahari, wajahmu tidak akan pernah kulupakan.”