Lincah sekali Marlina melompat, menghindari tanah-tanah yang tergenang air. Biar pagi masih buta, jalanan belum tampak jelas, tapi dia seolah hafal di mana biasanya air menggenang usai hujan turun. Gladys di belakang, mengikuti langkah Marlina dengan terbata-bata. Sebentar lagi mereka masuk hutan. Semalaman hujan, udara jadi sangat dingin pagi ini.
“Seharusnya kita cari kayu bakar sejak kemarin, Gladys.” Katanya sambil menoleh ke belakang, melihat Gladys tampak kesusahan menghindari becek. “Ranting-ranting yang basah begini takkan kering dalam satu atau dua jam. Jadi mulai sekarang, kita cari kayu bakar setiap hari. Supaya persediaan di rumah Mak Ni tidak habis.”
Gladys diam saja.
“Nanti siang setelah dhuhur, Bapak mau mengisi kajian di masjid. Kau mau datang? Tema-nya tentang fiqih Haji. Siapa tahu kelak kita bisa naik haji, bukan?”
Tidak dijawab. Gladys hanya tersenyum dangkal, mengangguk singkat. Marlina belum tahu kalau nanti jam sembilanan Gladys sudah tidak lagi di desa ini. Tapi dia seperti tak ingin merusak suasana hati Marlina pagi-pagi begini.
Setelah kayu bakar terkumpul, basah, diikat tali dari sulaman rumbia rapat-rapat, mereka bersiap pulang. Matahari sudah tampak separuh bulat di ufuk timur. Gladys tak mau menahannya lagi. Dia putuskan bicara saat itu juga.
“Nanti aku akan pulang.”
“Pulang? Maksudmu?” Marlina mengernyit, sambil membenarkan simpul talinya yang sedikit longgar.
“Kapten Herman memberi tawaran untuk mengantarku pulang ke rumahku di Tulungrejo. Aku setuju.”
Diam. Marlina yang mau menggotong kayu bakar, urung, menghela lemas, mengangguk-angguk seakan sebelah hatinya maklum dengan ucapan Gladys. Tapi sebelahnya lagi tak rela. “Kau tidak takut Jepang menangkapmu lagi?”
“Markas rahasia dan seluruh pasukannya sudah diringkus. Lagipula, mereka berhasil menangkap Jenderal Hitoshi. Tidak lama lagi, segelintir sisa tentara Jepang yang masih berkeliaran pasti akan minggat dari tanah kami.”
Marlina manggut-manggut lagi. Lantas mereka mulai mengangkat kayu, menggotongnya menuju rumah Mak Ni. Sepanjang jalan tidak ada satu pun obrolan. Marlina diam saja. Tak cerewet seperti waktu mereka berangkat.
Usai meletakkan kayu bakar di rumah Mak Ni. Marlina langsung pamit pulang ke pondok. Tidak minum teh dulu, atau sarapan singkong rebus seperti biasanya.