Di tepi hutan, beberapa truk tentara mulai terlihat oleh mata. Setia menanti kedatangan kawan-kawan mereka. Rombongan Kapten Herman sudah hampir tiba. Sisa tentaranya tidak banyak, jadi kalau ditambah Gladys dan beberapa tawanan masih cukup. Sementara mereka yang gugur dalam perang kemarin, telah dibuatkan pemakaman masal di dalam hutan. Sebab Kapten Herman tahu, mustahil membawa sekian puluh korban dalam kondisi banyak pasukannya yang juga kritis.
Tiga tentara yang menunggu di tepi hutan, menjaga truk-truk mereka, terkejut akan kedatangan Kaptennya yang dibalut luka, dan segelintir tentara lain. Namun yang paling mengejutkan adalah, Jenderal Hitoshi dan tiga petinggi lain telah ditangkap, diborgol. Satu per satu kemudian dilempar ke dalam truk secara paksa. Mereka meronta, terjatuh, berteriak-teriak mengumpati semua orang.
“Aku ini jenderal!” Jenderal Hitoshi berusaha bangkit, lantas duduk di bangku panjang. Beberapa tentara mulai menyusul, menjaga jenderal itu agar tidak melompat kabur dalam perjalanan. “Kalian akan tahu akibatnya! Aku bersumpah!”
“Sumpahmu takkan berguna.” Kapten Herman masuk, duduk di kursi seberang Jenderal Hitoshi. Gladys, Sukma dan tiga sandera lain ikut pula masuk. Berada di satu truk bersama Kapten. Duduk di tepi, takut-takut melihat Jenderal.
“Akan kuingat wajahmu, Kapten!” ancam Jenderal Hitoshi. Kapten hanya tertawa, meledek.
“Sudah kubilang sumpahmu tidak akan berguna. Apalagi ancaman. Kau pikir berapa lama lagi kedigdayaan kalian di negeri ini? Kami mulai bergerak, Jenderal. Satu per satu kekuatan Jepang mulai runtuh di wilayah Jawa.”
“Itu namanya pengkhianatan!”
Kapten Herman mendekatkan kepala, memicing. “Kami tidak pernah berkhianat ... kepada tanah air kami sendiri.”
Jenderal Hitoshi getam-getam, tajam menatap Kapten. “Aku akan sampaikan ucapanmu ini di pengadilan. Kalian akan dibui selamanya!”
“Kau melampaui batas, melanggar hukum yang orang-orangmu buat sendiri. Bahkan anggota kami sudah memotret semua bukti-bukti. Mayat-mayat perempuan yang kau lempar ke dalam jurang, penyiksaan terhadap para wanita hanya demi kepuasan nafsu setanmu itu. Lantas siapa sekarang manusia yang percaya sampah macam kau? Tidak ada, Jenderal. Tidak satu pun.”
Diam. Kaku mulut Jenderal Hitoshi tak bisa bicara. Sebab dia tahu kelakuan bejatnya akan membuat murka petinggi-petinggi negara.
Di sudut mobil. Gladys menggenggam tangan Sukma yang ketakutan mendengar suara Jendera Hitoshi. Mobil kemudian melaju, melewati jalan panjang yang kadang kala berbatu-batuan. Lama sekali perjalanan ke Desa Tulungrejo. Dalam perjalanan itu Jenderal tak lagi bicara. Diam mematung seolah meratapi nasibnya.
Di dalam truk, mereka banyak berbincang santai. Tak lagi peduli akan keberadaan Jenderal Hitoshi. Kapten Herman sekali sempat menyampaikan banyak-banyak terima kasih kepada Sukma dan beberapa tawanan lain karena mau dibawa ke pengadilan untuk menjadi saksi. Usai pengadilan selesai, Kapten berjanji akan mengantar mereka kembali ke Malang, melepas rindu berjumpa dengan keluarga.
Hampir satu jam perjalanan, akhirnya sampai juga di Desa Tulungrejo. Di sebuah gapura besar, Truk menepi. Gladys melompat turun, mengamati sekitar. Pepohonan di pinggir jalan, rumah-rumah penduduk yang berjauhan. Tidak ada perubahan sama sekali. Kapten Herman menyusul turun. Mengajak satu anak buahnya juga turun. Dari truk lain, Hadi berlarian mendekati Kapten. “Rencana tertap berjalan, Kapten?”
Kapten Herman mengangguk. “Kau pimpin hingga selamat sampai Surabaya.” Katanya sambil menepuk pundak Hadi. “Ingat! Langsung kau bawa ke Komandan Raden Soedirman jika beliau sudah tidak bekerja. Sebab tidak ada tempat lagi yang paling bisa dipercaya selain di sana.”
Hadi mengangguk. Hormat sebentar, lantas naik di truk yang ada Jenderal Hitoshi. Duduk menggantikan Kapten.
“Tunggu!” Gladys angkat bicara. “Memangnya kau tidak ikut ke Surabaya?”
“Aku dan Sutoyo akan mengantarmu sampai rumah dengan selamat.”
“Tidak perlu. Aku bisa jalan sendiri.”
Kapten Herman terkekeh. “Aku tahu Mbak Gladys bisa jalan sendiri. Tidak perlu digendong.”
Sutoyo, seorang tentara yang berada di sebelah Kapten ikut tertawa.
“Maksudku bukan begitu, Kapten. Aku bisa pulang sendiri. Rumahku ....”
“Tidak ada tawar-menawar.” Kapten Herman memotong. “Ini sebagai bentuk ucapan terima kasih kami kepadamu. Lagipula, aku punya saudara di sini. Sekalian bisa sambang.”
Gladys tak lagi bicara. Menatap dua mata sayu Kapten Herman yang seperti tidak bercanda. Dia mengalah. Tersenyum tipis. Tidak ada salahnya diantar dua orang tentara. Siapa tahu nasib orang di jalan? Gladys tidak menepis, bahwa masih ada rasa takut kalau-kalau di jalan berjumpa tentara Jepang, dan mereka menangkapnya lagi seperti dulu.
Truk sudah berangkat. Menyisakan tiga orang yang masih berdiri di ambang gapura bertuliskan ‘Desa Tulungrejo.’. Gladys memimpin, berjalan di depan. Kapten dan Sutoyo baris sedikit jauh di belakang sambil menenteng senjata laras panjang. Melewati banyak orang. Mereka memandang heran, aneh melihat tentara Indonesia hanya berdua saja, berjalan di pinggiran desa, tak takut tentara Jepang datang naik otto, lalu memberondong mereka dengan peluru.
Orang-orang desa tidak tahu bahwa markas rahasia Jepang di Batu sudah dikuasai. Jenderal Jepang, pemimpin seluruh tentara di Malang, telah dibawa ke Surabaya. Maklum, kejadiannya baru kemarin. Kabar itu mungkin saja belum sampai ke telinga mereka.
Menuju rumah Gladys, harus melewati jalan setapak yang diapit dua pekarangan luas milik Mr. Van Dort, ayahnya. Namun jalan ini tampak tidak terawat. Daun-daun kering pohon akasia dibiarkan jatuh berserakan. Rumput liar dan tanaman lain meninggi, merangsek hampir menutupi jalan. Seolah-olah jalan ini tak lagi dilewati sejak satu atau dua tahun lalu.