Banyak sekali cerita yang ingin disampaikan Gladys sejak dia diculik—sampai sekarang bisa berubah seperti ini. Tapi ketegangan di ruang tengah rumah Mr. Van Dort seolah harus melupakan cerita-cerita yang sudah Gladys siapkan untuk mereka. Di sore menjelang malam tepatnya. Ketika langit sudah tampak mendung. Di luar sepi, angin menjatuhkan daun-daun kering dan buah pohon beringin. Mereka semua berkumpul untuk berdiskusi tentang kekuasaan Jepang di kebun apel Mr. Van Dort. Kerai jendela ditutup rapat agar tak seorang pun tahu ada kehidupan di rumah besar ini.
“Kami sudah memberantas seluruh pasukan yang ada di markas rahasia. Tapi aku tidak tahu kalau kebun Mr. Van Dort juga ditempati para tentara Jepang.” Kapten Herman mengawali bicara. “Sial! Tahu seperti itu, tadi mereka tidak kusuruh pulang dulu.”
Gladys berada di antara mereka, duduk memangku Yuni di kursi dekat meja. Dua batang lilin menyala sekedarnya, di antara piring berisi beberapa apel oleh-oleh Gladys. Dia mengupas satu. Yuni lahap sekali makan apel itu. Katanya, ini apel paling manis yang pernah dia makan.
“Yang lalu biar berlalu, Kapten.” Timpal Gladys. “Tadi kita tidak tahu ada pasukan Jepang yang tinggal di kebun ayah. Lagipula pasukanmu dalam keadaan luka-luka. Tak mungkin kembali ke medan perang.”
Diam. Sunyi sekejap ruangan ini. Di dekat jendela, Mijan mengintip suasana di luar. Pak Sampun tidak ikut di antara kami. Beliau memilih duduk di lantai atas, menghadap jendela, mengamati suasana pekarangan belakang rumah. Jika ada gerak gerik mencurigakan dari pekarangan belakang, dia harus cepat-cepat turun, memberitahu yang lain.
Mr. Van Dort meneguk kopinya, menghela. Menatap kosong. “Pak Darto bilang, ada dua puluh lima pasukan di kebun. Bersenjata lengkap, selalu siaga. Jumlah kita kalau ditambah Kapten dan Sutoyo, hanya ada lima orang. Apa cukup melawan mereka?”
Gladys tengok kanan kiri. Dia hampir melupakan Pak Darto. Ke mana orang itu? Tak tampak perut buncitnya sejak tadi. “Ngomong-ngomong, di mana Pak Darto? Aku tidak melihatnya sejak tadi, Yah.”
Mr. Van Dort menoleh, tersenyum singkat, seolah dia merasa lega mendengar suara Gladys memanggilnya, setelah sekian tahun berpisah. Belum dijawab, Mijan di dekat jendela lebih dulu bicara. “Pak Darto ada di kebun. Sebagai pemilik kebun, dia ditugaskan Jepang untuk menjaga karyawannya tetap bekerja.”
Gladys terkejut. Dua alisnya turun. “Apa? Pemilik kebun?” suaranya sedikit lantang. Mr. Van Dort meminta Gladys tidak berisik, dan buru-buru meralat.
“Tidak apa, Nak. Ceritanya rumit.”
“Sepertinya Gladys harus tahu duduk persoalannya, Mister,” ucap Mijan. “Lihat! Wajahnya mendadak keriput. Heran mungkin kenapa tiba-tiba kebun jadi milik Pak Darto.”
“Wajahku tidak keriput!” Gladys menoleh sengit ke arah Mijan. Dua alisnya menyatu sebal.
“Iya … iya … tidak keriput. Hanya sedikit ada kerutan.” Mijan tak mau kalah.
“Sama saja!” Gladys kini melotot, membuat bulu kuduk Mijan berdiri. Tak berani bicara lagi, langsung menunduk dalam-dalam.
“Sudah! Sudah! Stop bertengkarnya!” Mr. Van Dort menghela, menyudahi pertikaian Mijan dan Gladys. Lalu sejenak setelah Gladys diam, tenang, Mr. Van Dor mulai menjelaskan.
“Ketakutan akan Jepang menyebabkan semua orang Belanda pergi meninggalkan Indonesia. Orang-orang seperti Ayah diusir bagai seekor tikus. Mungkin, tidak lagi banyak yang tersisa di tanah Jawa ini. Sebab rumornya juga, tak sedikit dari mereka yang perempuan disiksa Jepang, dijadikan pelampiasan nafsu mereka.”
“Astagfirullah hal adzim.” Gladys mengelus dada, menghela. Memang tidak bisa dimaafkan semua tindakan Jepang itu.
“Kami semua berunding waktu itu. Sebab Jepang ingin tahu tanah kebun itu milik siapa. Lalu demi keamanan, agar mereka tidak tahu ayah pemiliknya, maka Pak Darto, Mijan dan Ibumu cepat bergerak ke Kantor Pertahanan Kabupaten Malang. Mengurus perpindahan kepemilikan. Beruntung negeri ini banyak pegawai gila uang. Tinggal dibayar sedikit, surat tanah sudah menjadi hak milik Pak Darto.”
Gladys menganguk-angguk paham. Lega setelah mendengar alasan perpindahan kepemilikan itu murni karena ingin melindungi keberadaan keluarganya. Yuni minta apel lagi. Gladys mengambil satu, mengupasnya lagi. “Kau suka?”
Yuni mengangguk cepat. “Lebih manis dari yang di kebun.”
Sejenak lewat, Mr. Van Dort kembali cerita. “Kau bisa bayangkan jika mereka tahu ayah adalah pemilik kebun itu? Kebun akan dikuasai mereka, keberadaan ayah diketahui, lantas diusir pulang ke negeri Belanda. Dan yang paling parah, mereka akan meminta ayah untuk menjual murah tanah itu ke petinggi Jepang.”
“Mister Van Dort tidak mau itu terjadi. Menjual tanah ke Jepang sama saja menuju neraka. Dibeli kredit dengan harga merosot, atau kes tapi hanya dua puluh persen dari total harga keseluruhan. Itu berat, bukan? Mereka seperti belut, Non. Licin, licik. Mau menang sendiri.” tambah Mijan.
Selang dua detik kemudian Ibu datang, melangkah pelan, duduk tak jauh di samping Ayah Gladys. “Maka keputusan itu bulat kami sepakati. Jika yang punya adalah orang-orang terdekat kita, tentu hal itu tidak masalah, kan?”
***
Aku terenyak, menutup mulut tak percaya dengan tulisan di buku ini. Kembali coba kubaca bagian itu. Mengangguk-angguk. Rupanya itulah kenapa keluarga Pak Toni mempunyai surat tanah kebun kami juga. Dulu kakek buyutnya dan ayah Gladys sepakat untuk membalik nama kepemilikan kebun apel itu. Dengan alasan agar Mr. Van Dort tetap bisa tinggal di Indonesia, dan tanah tidak dibeli murah oleh Jepang.
Semua kejanggalan tampak sudah jalan terangnya. Jawaban atas masalah yang hari ini membuat semua orang bingung akhirnya terungkap. Beruntung Eyang Gladys sempat menulis cerita ini sebelum dia tua dan semakin tidak ingat siapa-siapa. Beruntung sekali.
Tengah malam sudah lewat jauh. Dua mataku mulai pedih. Tapi tidak peduli. Firasatku mengatakan, ini adalah puncak dari cerita Gladys.
Sebentar aku menghela, mengucek-ngucek mata yang mulai merah. Lalu kembali melanjutkan membaca. Di luar, teve sudah mati, ayah mungkin sudah menyuruh Alvin pergi tidur. Sudah amat larut untuk dua makhluk itu tetap terjaga, apalagi untuk sekedar main game. Besok Alvin harus sekolah, dan Ayah berangkat kerja.
Aku menarik selimut, bersandar di kepala ranjang, kembali melanjutkan cerita Gladys.
***