Sekitar pukul delapan malam, suasana rumah sudah senyap. Ayah dan Ibu Gladys tidur lebih dulu. Kapten Herman duduk-duduk di luar, merokok dengan Sutoyo. Mungkin mereka lega setelah berhari-hari bibirnya pahit tidak merokok, akhirnya bisa minta punya Mr. Van Dort.
Sampai saat ini Gladys tetap di ruang tengah, sekarang malah ditemani Yuni yang tiduran di sofa panjang, berselimutkan jaket Pak Darto, ayahnya. Sayang beliau tidak berada di sini. Pak Darto terpaksa menyembunyikan Yuni di rumah ini agar tidak jadi korban penculikan seperti anak-anak perempuan di bawah umur lainnya. Dia rela tinggal hanya bersama istrinya saja di rumah, berpura-pura tidak punya anak, dan berpura-pura menjadi pemilik kebun itu.
“Kau mau aku main lagu apa?” tanya Gladys. Biola sudah ditangan, siap dimainkan.
Yuni hanya menggeleng pelan. Dua matanya berat, tapi masih tidak bisa tidur. Sebentar Gladys berpikir, lantas memainkan musik yang pelan, yang dirasa cocok untuk menidurkan Yuni. Suaranya lembut menyisir telinga Yuni, menggema lirih sampai ke ruang-ruang sebelah.
“Judulnya Lullaby. Kau suka?”
Yuni tersenyum tipis, mengangguk pelan. Matanya layu, mengantuk. Musik itu serta merta membuatnya tertidur. Tak lama kemudian dari ruang sebelah, Mijan melangkah pelan menuju ruang tengah, membawa setengah potong apel, mendekati Gladys. Menikmati musik yang mendayu-dayu. Duduk di sofa panjang, dekat Yuni yang sudah hilang ke alam mimpi. Sesekali menggigit apelnya.
Lama-lama, suara biola Gladys tak beraturan. Sedih bukan, senang pun tidak, seolah-olah menggambarkan suasana hati pemainnya. Dua lilin menyala tinggal seperempat, Gladys mengakhiri satu lagu dengan nada pelan dan lembut. Tapi kemudian dia menghela berat, seolah baru saja melepas beban yang memikul pundak. Menurunkan biolanya terbata-bata, memandang kosong kerai jendela yang sesekali disibak angin.
“Lima orang melawan dua lima? Apa bisa?” tiba-tiba Gladys bicara, lirih, menoleh ke Mijan.
“Dua puluh lima tentara dalam keadaan tidur. Kukira itu sepadan.” Jawab Mijan singkat. “Oo, jadi itu yang membuat suara biolamu dilema?”
Gladys melirik biolanya, tersenyum singkat. “Apa biola ini benar-benar bisa menggambarkan suasana hati pemainnya?”