Gadis Biola

Auni Fa
Chapter #32

Bantuan

Ini kali kedua Gladys memasuki hutan di tengah malam. Beruntung kali ini mereka diterangi senter yang dibawa Sutoyo. Dan Mr. Van Dort berulang kali memperingati Gladys agar hati-hati melangkah. Sebab banyak patahan kayu lancip di tanah, ular atau serangga beracun kadang kala juga bermunculan kalau malam begini.

Gladys hanya mengangguk. Dia pernah mengalami petualangan yang seperti ini, lebih parah malahan. Tentu jika sekedar memasuki hutan ditemani dua laki-laki gagah, itu jauh lebih mudah menurutnya.

Waktu terus merangkak. Perjalanan masih lanjut. Begitu udara malam menerpa wajah-wajah letih itu, maka sampailah mereka di tepian sungai bening. Sebentar Gladys istirahat, mengambil air dengan kedua tangan, lantas diminum. Mr. Van Dort dan Sutoyo ikut duduk. Tak mau menyia-nyiakan waktu istirahat, ikut juga meminum air sungai sebanyak mungkin.

“Bertahun-tahun sungai ini jadi sepi.” Tiba-tiba saja Mr. Van Dort bicara, menghela berat. Gladys menoleh, alisnya terangkat penuh tanda tanya.

“Kau tahu, Nak? Dulu di sepanjang sungai ini ramai orang mandi, mencuci pakaian. Dan anak-anak bermain-main sampai puas.”

“Di sini?”

Mr. Van Dort mengangguk mantap. Lantas dia berdiri, menunjuk ke utara, arah sungai ini bermula. “Di sana! Kalau kita terus menelusuri sungai ini, ada air terjun yang sangat bagus. Kapan-kapan kau akan kuajak ke air terjun itu, Gladys. Tempatnya menyenangkan …”

Belum lengkap Mr. Van Dort bicara, Gladys langsung bangkit. Memotong ucapan ayahnya. “Maksud Ayah, air terjun tempat Mijan mandi?”

“Apa?” Kedua alis Mr. Van Dort turun. “Kau sudah tahu? Kau pernah ke sana? Dengan Mijan? Apa yang dia lakukan padamu?”

Gladys menggeleng cepat. “Dia hanya mengajakku mandi.”

“APA!” Mr. Van Dort terkejut bukan main, berkacak pinggang. “Sialan anak itu! Sudah diberitahu jangan ke air terjun! Ini malah mengajakmu mandi!”

“Ayah! Itu sudah tidak penting!”

“Tidak penting katamu?” Dua mata Mr. Van Dort melotot.

“Maksudnya, ini bukan saatnya membicarakan itu! Lagipula waktu itu aku juga tidak mandi, kok!” Gladys kembali memotong. “Yang penting sekarang kita harus segera bergegas ke sana!”

“Ke air terjun?” Mr. Van Dort tak mengerti dengan jalan pikir anaknya ini. “Daripada memutar ke sana, lebih baik lewat jalan ini. Lebih cepat sampai ke kebun. Tidak ada waktu untuk jalan-jalan.”

“Bukan itu!” Gladys menolak. “Kita harus mencari bantuan. Kita harus memanggil puluhan orang untuk membantu kita.”

Mr. Van Dort diam, memandang Gladys dengan raut muka yang masih tidak mengerti. “Katakan padaku yang jelas!” Mr. Van Dort berkacak pinggang, mendesah bingung. “Kau mau memanggil siapa memangnya?”

“Orang-orang di desa dekat air terjun. Desa yang selalu ayah beri buah apel itu!”

Mr. Van Dort geleng-geleng kepala, menolak usul Gladys. “Tidak! Mereka bukan para petarung. Mereka hanya pandai bercocok tanam. Bukan pejuang. Kita tidak boleh melibatkan mereka.”

Sutoyo yang sejak tadi diam, tiba-tiba berdiri, ikut menanggapi. “Ayahmu benar. Kita tidak boleh melibatkan warga yang tidak paham soal berperang. Terlalu berisiko bagi keselamatan mereka.”

“Dengar itu kata pak tentara!” tegas Mr. Van Dort.

“Lalu bagaimana dengan Ayah sendiri?” tanya Gladys.

Dua pria itu diam. Mengernyit tak mengerti.

“Bagaimana dengan ayah yang hanya bisa menanam apel? Duduk di kursi mengurusi kebun, menawarkan apel ke orang-orang? Bagaimana dengan Mijan dan Pak Sampun yang juga tak pernah memegang senjata? Lalu bagaimana dengan aku? Aku bahkan satu-satunya perempuan yang ada di tim ini. Dan baru tadi belajar membidikkan pistol.”

Sejenak Mr. Van Dort bingung. Garuk-garuk kepala. Sutoyo sedikit melangkah mundur, pura-pura mengamati sekitar. Tak mau ikut campur urusan keluarga ini.

“Itu beda, Gladys! Kau pintar, berani ….”

“Apa orang di desa itu bodoh-bodoh? Penakut semua? Ayah sudah meremehkan mereka.” Gladys memotong ucapan ayahnya. Memicing. Dua matanya menusuk, membuat nyali Mr. Van Dort sedikit ciut.

“Bukan … bukan itu maksudku. Kau itu anak ayah.” Mr. Van Dort kembali berdalih. Tak berani balas menatap wajah putrinya itu. “Tapi mereka orang lain yang bahkan ayah tidak tahu nama-namanya. Ya, walau pun setiap bulan ayah selalu memberi mereka jatah buah apel, tapi kita tidak begitu mengenalnya, bukan?”

Gladys menghela, tersenyum kecut. Tak percaya dia mendengar alasan tak masuk akal itu dari mulut ayahnya. “Artinya, anakmu yang ayah kenal ini, adalah orang yang berhak ikut perang? Dan boleh mati ditembak tentara Jepang?”

“Gladys! Jaga mulutmu!” Mr. Van Dort menghentak, tangannya mengepal. Sedikitnya membuat Gladys merinding. Tak pernah dia melihat ayahnya murka seperti ini. “Tidak ada satu pun dari kita yang boleh mati! Tidak ada!”

Gladys menunduk. Diam. Merasa ucapannya berlebihan. Suasana jadi canggung. Sutoyo berjalan mendekat. Melerai perdebatan ayah anak itu. “Baik! Debatnya selesai. Kita sudah harus berjalan lagi, dan istirahat di lokasi untuk mengumpulkan tenaga.”

Tapi begitu berat dua kaki Gladys melangkah tanpa ada yang setuju dengan idenya. Dia mungkin tidak bisa membuat Mr. Van Dort dan Sutoyo sejalur dengannya. Maka sudah diputuskan. Dia sendiri yang akan menemui penduduk desa, dan meminta mereka membantu peperangan ini dengan sukarela.

“Ayo Gladys! Kita lanjutkan perjalanan.” Mr. Van Dort berpaling, melangkah bersama Sutoyo menjauhi sungai. Menuju ke arah kebun apel.

“Ini adalah negeri kami ….” Gladys bicara lirih. Mr. Van Dort dan Sutoyo menoleh. Berhenti melangkah. Menghela lemas. Masih belum mau menyerah juga anak itu?

“Ini adalah kota kami, kampung halaman kami. Di tanah ini tumpah darah kami.” Suara Gladys beradu dengan aliran sungai, mengalir ditiup angin malam. Jelas sekali terdengar di telinga dua pria itu. “Cangkul, bambu runcing dan pisau yang kami genggam bukanlah senjata yang sebenarnya. Melainkan adalah persatuan dan tekad yang kuat.”

Hening.

“Demi Allah … darahku yang tumpah adalah amunisi, kematian kami adalah awal dari bangkitnya kemerdekaan negeri ini dari para penjajah. Allahu Akbar … Allahu Akbar … Allahu Akbar.”

Mr. Van Dort mengernyit. Tidak mengerti maksud ucapan Gladys. “Nak? Apa maksudmu bicara begitu?”

Gladys menghela, tersenyum tipis. “Kata-kata itu yang nanti kuucapkan kepada mereka.”

“Kepada siapa?”

“Doakan aku berhasil, Yah.”

“Doa untuk apa?” Mr. Van Dort bingung. Melangkah mendekat. Namun tiba-tiba saja Galdys berlari, menelusuri anak sungai, menuju air terjun, menjauh dari ayahnya. Menuju ke arah desa di balik sana.

“Gladys!” Mr. Van Dort berusaha menyusul, tapi Sutoyo sigap menangkap lengan Mr. Van Dort. Menghentikan langkahnya.

“Biarkan dia pergi, Mister!”

Mr. Van Dort berusaha melepaskan diri. Tapi badannya yang lebih kurus tak cukup kuat mengalahkan cengkraman tangan Sutoyo.

Lihat selengkapnya