Gadis Biola

Auni Fa
Chapter #33

Hubungan

Sebelum naik angkot, aku berjalan dulu, melewati Taman Makam Pahlawan, menuju ke utara, arah ke alun-alun kota. Pohon-pohon di pinggir jalan menjatuhkan daun-daun kering mereka. Tepat di depan Taman Makam Pahlawan ini dua tiga penjual makanan mulai berdatangan. Seorang penjual bubur sum-sum sejak tadi tak berhenti melayani pelanggan. Paling ramai di antara penjual lain.

Aku terus berjalan, menanti angkot lewat, sambil memikirkan cara untuk menemukan bagian cerita yang hilang. Hanya orang-orang yang bersangkutan yang pasti bisa melanjutkan cerita itu. Eyang Gladys sudah tidak mungkin. Lalu siapa? Semua nama dalam buku itu seperti menggantung di atas kepalaku. Siapa yang masih hidup? Tidak ada. Semua keluarga kami yang hidup di jaman itu sudah tidak ada. Tinggal Eyang Gladys seorang.

TIN! Suara bel sepeda motor membuatku terkejut. Cepat aku menoleh ke belakang. Seorang pria muda mengendarai vixion hitam keluaran lama, menepikan motornya, menyamai langkahku. Dia pria yang kemarin bersama Pak Toni dan Istrinya. Pemuda yang menyebabkan semua masalah ini terjadi.

“Kau Shofia, anak Pak Valin, bukan?”

Aku tak acuh. Mempercepat langkah sambil melihat ke jalan raya, barangkali sudah ada angkot mendekat. Lebih baik aku cepat-cepat naik daripada berurusan dengan keluarga Pak Toni.

“Kau pasti sangat membenciku,” katanya. “Sebagai permintaan maaf, biar kuantar ke kantor. Mau?”

Sialan pria ini. Lancang sekali bicaranya. Imbalan meminta maaf dengan mengantarku? Harga diri ini bisa semakin jatuh di mata keluarganya. “Tidak perlu. Aku naik angkot saja.”

“Itu artinya kau tidak memaafkanku. Padahal, aku adalah satu-satunya orang yang tidak sepaham dengan Ayah.”

Langkahku terhenti. Kalimatnya sedikit menyentil telinga. “Maksudmu?”

Dia menghentikan laju motornya, lengkap memandangku seperti kami sudah lama kenal saja. Tapi dari dua matanya yang tegas, seperti tidak ada kebohongan yang dia tampilkan. “Aku tidak tahu kalau sertifikat yang tidak sengaja kutemukan di rumah tua kami, membuat Ayah mengambil keputusan buruk ini. Sekarang, kebun kalian menjadi tanah sengketa. Ayah akan mengambil jalur hukum kalau kalian tidak menyerahkan tanah itu. Semakin rumit saja.”

“Kau tidak setuju?”

Pria itu menggeleng cepat, mengalihkan matanya tak pasti. Dari sorot matanya yang tegang itu, aku bisa tahu kalau dia tampak letih. “Sertifikat itu sudah puluhan tahun lalu. Banyak peristiwa yang mungkin saja terjadi selama periode itu, dan tidak tercatat oleh siapa pun. Jadi aku minta maaf kalau ayahku bersikap seperti itu kepada kalian.”

Aku mematung. Pria ini rupanya berbeda. Tidak suka marah-marah seperti Pak Toni. Pun raut mukanya tampak lebih bersahabat. Lebih bisa dipegang kata-katanya. Sama sekali aku merasa tidak terancam di dekat pria ini.

“Bagaimana? Kau mau kuantar?”

Sebentar aku menimbang-nimbang.

“Tapi sebelum ke kantormu, temani aku dulu ke sekitar Balai Among Tani, ada toko musik di situ. Nenekku titip belikan sesuatu.”

Aku setuju. Lagipula, tidak ada salahnya berangkat dengannya. Aku tidak mengeluarkan uang untuk bayar angkot. Selama perjalanan, kami hampir tidak berbicara. Hanya satu dua kali saja, itu juga topiknya tentang jalanan Kota Batu yang semakin padat. Kami sepakat bisa-bisa kota ini akan seperti tetangganya kalau pagi hari. Macet di mana-mana.

Perbincangan kami berlanjut. Pria itu kemudian memperkenalkan diri. Namanya Harun, punya toko komputer kecil-kecilan di daerah sekitar Masjid Jamik. Tak jauh dari alun-alun. Beberapa menit berlalu lambat, kami akhirnya tiba di toko musik. Aku turun, Harun menyusul. Kami masuk beriringan. Seorang bapak-bapak berwajah oriental datang mendekat, berjalan pelan seolah berat menopang perutnya yang buncit. Sepertinya dia pemilik toko ini. Tanpa bertanya, langsung memberi tawaran seolah sudah hafal dengan Harun.

“Yang Glow sudah ada. Kau mau?” tanya bapak gemuk itu.

Lihat selengkapnya