Hanya butuh waktu lima belas menitan kami akhirnya sampai di kediaman Pak Toni. Ternyata rumahnya ada di daerah Bumi Aji, melewati gang masuk ke arah kebun apel kami, masuk ke belokan lain di seberang. Jalannya menanjak, berkelok-kelok. Dari sini kalau menoleh ke belakang, kau akan melihat pegunungan dan sawah-sawah di belahan tenggara Kota Batu. Dan hari ini sedang cerah. Warna gunung membiru, sawah kebun hijau seperti baru saja dicat. Langit cerah menawan, seolah mendukung perjalananku dalam mencari bagian yang hilang dari cerita Gladys.
Kami berhenti tepat di depan sebuah rumah yang diapit sawah-sawah. Kurasa, ini rumah yang cukup besar. Ada pagarnya walaupun tidak terlalu tinggi. Juga sekian meter persegi luas latar depan rumah yang pas untuk parkir sebuah mobil. Memang tidak sebesar rumah kami, tapi setidaknya keluarga Harun bukan termasuk yang kekurangan.
“Kalau pagi-pagi begini. Di rumah cuma ada Nenek dan Ibu. Tapi tampaknya hari ini Ibu sibuk sekali. Ada banyak pesanan katering soalnya.”
Aku turun dari motor. Harun membuka gerbang, memasukkan motor pelan-pelan. Aku menyusul di belakangnya. “Ayahmu kerja di mana?”
“Ngajar di SMA 3.”
Itu sekolah baru yang berada tidak jauh dari sini. Dan kalau dia adalah seorang guru, sudah tentu pulangnya baru nanti siang. Semoga urusanku sudah selesai sebelum ayah Harun pulang. Sebab dilihat dari sikap keluarga ini kemarin saat bertamu ke rumahku, hanya Pak Toni saja yang tampak ngotot, seperti sangat berharap memiliki kebun kami.
“Assalamualaikum!” Harun melangkah pelan ke depan pintu, langsung membukanya. “Masuk, Fi!” menyuruhku masuk. Tapi rupanya Ibu Harun tidak ada. Hanya beberapa pegawainya saja yang sibuk dengan urusan katering. Pria itu mencari di beberapa ruangan. Tidak ketemu, lantas kembali menemuiku di ruang depan.
“Ibu tidak ada. Mungkin keluar. Ayo! Kuantar kau menemui Nenek!” Harun melangkah sedikit cepat. Aku mengikuti di belakang. Melewati sebuah ruangan yang penuh kardus-kardus untuk kebutuhan katering. Ada beberapa pegawai yang sibuk mengurusi katering.
Ternyata rumah Harun masih memanjang ke belakang. Kami memasuki ruang keluarga. Di sampingnya, ada sebuah pintu dan dinding dari kaca yang terbuka lebar, menampakkan taman kecil di bagian luarnya. Sebentar aku takjub. Sebab biarpun rumah kami lebih besar, tapi tidak ada dinding dan pintu kaca, juga taman di belakang rumah.
Seorang nenek usia tujuh puluhan duduk di kursi taman itu, memakai kacamata yang diselipkan pada rambut putihnya. Sedang membaca buku. Itu pasti Nenek Yuni. Tak jauh darinya, tepatnya di pojok taman ini, berjajar-jajar tanaman bonsai yang enak sekali dipandang mata.
Harun mendekat, memberi salam, mencium tangannya.
“Kau tidak kerja?” tanya beliau.
“Malas. Maunya di rumah saja.”
Nenek Yuni tersenyum tipis, memukul lengan Harun pelan. “Mau jadi apa pemuda jaman sekarang ini? Sukanya malas-malasan di rumah.”
Harun tergelak singkat. Lalu mengambil violin polish di sakunya. Diberikan ke Nenek Yuni. “Yang ini lebih bagus katanya, Nek.”
Sekilas perempuan renta itu melirik, meraih botol kecil yang dipegang Harun. Lalu mengangguk-angguk setuju. “Boleh juga. Tapi kalau biola itu tambah lapuk, rambutmu nanti yang kusiram dengan ini. Biar rontok,” ancamnya. Harun kembali tertawa. Aku ikut larut dalam percakapan sederhana mereka. Tampak akrab sekali kedua orang ini.
Sedetik kemudian Harun mengenalkan aku yang berdiri tidak jauh di belakangnya. “Namanya Shofia. Temanku.”
“Hmm ....” Nenek Yuni memicing, menurunkan kacamata bacanya. “Ada yang mau juga denganmu rupanya?”
“Teman, Nek. T-E-M-A-N.” Harun menekankan. Kami tertawa singkat. Lalu aku menyalami Nenek Yuni, mencium punggung tangannya. Sebentar kulihat wajahnya yang diam mematung, seperti heran melihatku.
“Aku sepertinya pernah melihatmu,” katanya pelan, alisnya turun, matanya lebih tajam memicing. “Kau mirip sekali dengan seseorang yang dulu ... emm ....” suaranya parau, ragu-ragu bicara. Belum lengkap kata-katanya, Harun segera memotong.
“Dia anak Pak Valin, cucu dari Pak Mahar.”
Nenek Yuni mengernyitkan alis, sedikit banyak masih belum paham omongan cucunya itu.
“Nama saya Shofia, Nek.” Aku jongkok, masih kupegang jemari tua Nenek Yuni. “Saya keturunan dari seorang perempuan muda yang dulu gagah berani melawan Jepang. Namanya Gladys. Nenek masih ingat perempuan itu, bukan?”
“Subhanallah ....” Bibir Nenek Yuni mengucap lirih, sebelah tangannya tiba-tiba saja menarikku. “Kau keturunan Mbak Gladys, Nak?”
Aku tersenyum, mengangguk pelan. Lantas dengan tenaga tuanya, Nenek Yuni menarikku lebih dekat lagi. Tangannya melingkar, memeluk, mendekapku seolah-olah ada ikatan kuat di antara kami. “Subhanallah ....” Dia kembali bicara. Kali ini bercampur isak tangis. Aku merasakan air matanya jatuh membasahi pundakku. Tiba-tiba saja mataku ikut menitikkan air. Ya ampun. Nenek Yuni begitu senangnya berjumpa denganku. Dengan (yang hanya) keturunan dari Eyang Gladys saja. Bagaimana jika dia tahu kalau orang yang memberinya biola itu masih ada sampai sekarang?
Sekian detik larut dalam kebahagiaan Nenek Yuni. Dia melepas pelukannya. Memandangku tak jemu-jemu, sambil dua tiga kali mengusap air di sudut matanya yang sudah berkerut-kerut dimakan usia.
“Bagaimana kalian bisa saling kenal?” dia menoleh ke Harun dan kepadaku bergantian.
“Kami baru kenal kemarin sore. Tapi sudah cocok, Nek,” kata Harun. Aku menoleh, melotot, Harun malah mengedipkan mata. Seolah-olah menyuruhku berpura-pura supaya neneknya makin senang.
Nenek Yuni tergelak. “Kalau begitu, hubungan kita akan semakin dekat, bukan?”
Terpaksa aku mengangguk. Lalu ketika tawanya reda, perkenalan berakhir, ini waktu yang tepat untuk menunjukkan buku Gladys. Kuambil bukunya, kuserahkan ke pangkuan Nenek Yuni. Dia bingung, keningnya mengernyit.
“Ini buku yang ditulis oleh Eyang Gladys sepeninggal suaminya. Ada satu foto di dalamnya. Mungkin Nenek mau melihatnya, sekedar untuk mengingat masa lalu.”
Terkejut Nenek Yuni mendengar penjelasanku. Dia cepat-cepat membuka buku itu. Membuka lembar pertama, membaca sekilas-sekilas. Senyumnya lembut terukir. Perlahan dua matanya turun, sampai pada foto hitam putih itu. “Ya ampun ... ini foto Mbak Gladys waktu muda dulu. Kau bisa lihat dia mirip denganmu, kan? Cantik sekali.”
Aku tersenyum saja. Mengangguk sedikit. “Di sini juga ditulis ketika Eyang Gladys memberikan biolanya ke Nenek, lalu menyelimuti Nenek yang terlelap di kamar Mbok Ija. Nenek ingat?”
Sekilas Nenek Yuni mengangguk. “Tentu saja ingat. Itu adalah hari disaat kekhawatiran mengikat semua orang. Aku, Mbok Ija, dan Ibu Fatimah mencemaskan nasib segelintir orang yang bergerilya melawan tentara Jepang.”
“Nenek benar. Biar kuperlihatkan!” Aku mengambil alih bukunya, membuka lembar-lembar di tengah. Menunjukkan bab terakhir yang ditulis Gladys. “Sayangnya Eyang tak lagi bisa menulis waktu itu. Maka buku ini menggantung di tengah. Apa Nenek Yuni mau memberitahuku cerita selanjutnya?”
Dia membenarkan kacamatanya, membaca sekilas paragraf terakhir. “Aku tidak ikut bergerilya, Nak. Jadi tidak tahu bagaimana detil cerita lengkapnya.”