Di depan gerbang kantor ayah, setelah pulang dari rumah Harun.
“Nanti sore kami akan ke rumahmu lagi.” Harun tiba-tiba membuat suasana yang semula tenang-tenang saja, menjadi panas.
“Kau? Dan orang tuamu juga?” aku melihatnya dengan alis turun. “Mau bicara tentang sengketa itu lagi?”
“Ayahku. Aku hanya mengantar.”
Emosiku seolah-olah memuncak. Heran saja melihat keluarga yang sudah cukup kaya ini, masih juga gila harta. “Sama saja. Apa kau tidak bisa bilang ke ayahmu? Tidak usah lagi mengurusi kami. Kau dengar sendiri cerita dari nenekmu, kan?”
“Iya. Aku dengar, Shof. Tapi sertifikat itu ada dua. Dan ayah tidak akan ...”
“Seteguh apa pun kalian ingin memiliki tanah ini, kami tidak akan melepasnya.” Aku memotong kalimat Harun. Dia terdiam. Tak berani melawan. “Aku punya bukti. Buku ini, juga cerita dari saksi mata, Nenek Sri Wahyuni. Bahwa keluargamu dulu tidak masalah, malah pergi ke Kediri, tidak mengungkit-ungkit tanah itu lagi.”
“Tapi bagaimana dengan ayah? Dia terlanjur marah setelah tahu bahwa kalian telah merebut tanah miliknya.”
“Merebut?” aku melotot. Membuatnya takut. “Kau sama saja rupanya. Tanah itu sejak lama milik keluarga kami. Justru sekarang dengan dalih sertifikat milik Ahmad Soeharto, kalian mau merebut hak kami.”
“Mm ... maksudku, bukan merebut seperti yang kau pikirkan, Shof. Tapi ....”
Aku mendengus, mengibas tangan. Malas bicara dengan orang bermuka dua seperti Harun. “Cukup! Aku pergi saja. Silahkan menikmati usaha kalian merebut tanah kami.” Aku balik badan, melangkah cepat, marah, meninggalkan Harun yang masih berdiri di situ.
Jalanku cepat menuju ruang kerja ayah. Di salah satu lorong, dekat ruang pengepakan, aku bertemu Heni, keringatnya mengucur seperti baru disiram air. Kadang aku heran. Wanita tambun ini mudah sekali berkeringat.
“Kau dari mana saja?” dia menghadang jalanku. Merentangkan tangan, melotot. “Tidak ijin atasan, lagi!”
“Maaf. Hari ini off. Aku terburu-buru, Hen!” aku berusaha melewati badan gemuk Heni yang terus menghadangku.
“Huff! Beruntung ayahmu yang punya pabrik ini. Kalau tidak, sudah kupecat kau!” katanya sambil membiarkan aku lewat.
Sejenak aku tertawa, lari-lari kecil menjauh darinya. “Besok-besok kuganti lembur, ya!”
Dia hanya melengos, lantas masuk ke ruang pengepakan, kembali kerja. Aku bergegas ke ruang kerja ayah. Bertanya dulu ke asistennya di depan pintu. Katanya, ayah masih ada rapat dengan beberapa kepala bagian. Terpaksa aku menunggu di depan kantornya.
Tiga puluh menit lewat, setelah rapat selesai, semua kepala bagian keluar ruangan. Giliran aku yang masuk. Kututup pintu, ayah yang masih memberesi berkas-berkas di mejanya, sedikit terkejut melihatku datang.
“Shofia? Ada apa?”
“Ayah tahu kan kalau nanti sore mereka mau datang lagi ke rumah?”
“Tahu,” jawabnya santai.
“Lalu?”
“Lalu ... ya. Biarkan saja. Mungkin mereka memang punya hati yang keras, Nak.”
“Aku punya buku cerita itu sebagai bukti bahwa dulu sertifikat itu dipindahtangankan karena ....”
“Sudahlah, Shofia.” Ayah memotong, meletakkan berkas-berkas yang dia pegang di sudut mejanya. Dia melangkah mendekatiku, sambil mengulas sedikit senyum. Aku tidak tahu makna senyuman itu. Menyuruhku sabar, atau dia punya solusi lain yang bisa mengusir keluarga Pak Toni dari rumah kami? Keningku mengernyit.
“Tidak perlu kau mengurusi itu lagi. Ayah sudah mengambil jalan tengah. Nanti sore ayah mau menawarkan mereka untuk mengolah bersama-sama perusahaan ini. Supaya adil.”
“Apa?” aku tidak percaya dengan ide Ayah. Dia mirip sekali dengan Mijan. Tidak ada keras kepalanya. Selalu santai dalam menghadapi banyak situasi. Aku mendengus, menyesal dengan ide itu.
“Ayah tidak mau kita punya musuh. Lebih baik kita ambil saja jalan tengah. Siapa tahu mereka mau. Kau tidak keberatan, kan?”
“Aku keberatan! Apa ayah pikir mereka mau bekerja sama dengan kita? Apa Ayah mau bekerja sama dengan Pak Toni yang kemarin memperlakukan ayah seperti seorang pencuri?”
Ayah mengedikkan bahu, tersenyum lagi. “Sifat orang bisa berubah. Dan Pak Toni itu seorang guru. Aku yakin hatinya tidak sejahat yang kau bayangkan. Dia guru, Shofia. Mendidik murid-muridnya untuk menjadi anak yang baik di kemudian hari. Paham maksudku, kan?”
Aku menghela. Diam. Tiga empat detik berlalu, kuputuskan untuk pergi dari ruangan ini tanpa pamit. Menutup pintu sedikit keras. Beberapa karyawan menoleh kaget. Hari ini aku menyerah. Lebih baik diam di kamar, atau nonton teve.
Perusahaan akan dibagi dengan makhluk seperti Pak Toni? Aku seperti menjadi orang yang paling ingin merobek-robek sertifikat Ahmad Soeharto itu.
***
Sore ini, Ayah pulang. Ibu menyambut seperti biasa, melepas jasnya, lalu mengantar ayah ke meja makan. Sudah ada jahe hangat dan beberapa kue kering untuk Ayah. Di meja makan itu juga, aku duduk sambil makan, tak bicara. Ayah datang, duduk, kami yang biasanya banyak bicara, sekarang diam seperti batu nisan.
“Hmm, enak sekali kue ini, siapa yang buat?” Ayah basa basi. “Kau Shofia?”
Dua mataku melirik sengit. Ayah diam lagi, memutuskan makan tanpa bicara. Ibu akhirnya yang menjawab. “Beli di supermarket. Memangnya siapa di keluarga ini yang pandai membuat kue?”
“Kau tidak bisa?” tanya ayah.
Ibu tersenyum, menggeleng pelan “Pertanyaan macam apa itu? Seperti kita baru menikah kemarin saja, Mas.”
Mereka tertawa. Aku tetap diam.