Satu minggu berlalu sangat lambat.
Mobil Ayah bergerak ke arah barat, melewati Jalan Suropati, belok kiri di Gang Karate, lurus menuju pemakaman umum di daerah situ. Berhenti tepat di dekat gapura pintu masuknya. Kami turun, membawa bunga-bunga, melangkah melewati banyak makam, menuju ke tengah-tengah, di situ letak makam Mijan.
Angin mengibas jilbabku, menyapu jubah yang kukenakan, menyeret daun dan bunga kamboja yang jatuh ke tanah kering. Sekarang aku berdiri di depan makam Mijan. Dia tak lagi sendiri, sebab tepat di sampingnya, jasad Eyang Gladys telah dikebumikan.
Menyedihkan. Sebab Eyang meninggal dua hari setelah kejadian sengketa kebun itu. Kepergiannya memang menyakitkan hati seluruh keluarga, tapi di sisi lain kami juga lega. Sebab ketika sisa-sisa napasnya masih di kandung badan, Eyang sempat memanggil semua nama kami, mengingat kami sebagai keluarganya. Tidak ada satu pun nama yang dilupakan. Ini adalah keajaiban. Kami senang di ujung-ujung waktunya, ingatan Eyang kembali seperti dulu waktu muda.
Lalu sebelum masa itu tiba, Eyang sempat mengucap dua kalimat suci. Aku berada di kamarnya waktu itu, berdiri di samping Ibu, menyaksikan mata Eyang terpejam rapat. Napasnya begitu berat, mulutnya menganga lebar seolah ingin mengambil udara sebanyak mungkin. Berlinang air mata kami. Ayah duduk di samping Eyang, memegang jemari yang tinggal tulang berlapis kulit keriput. Lemah.
Pelan-pelan, lirih, Ayah berbisik ke telinga Eyang. Dua kalimat Syahadat mengalir seperti tetesan embun. Harapan Ayah, kalimat itu mampu menyejukkan hati Eyang, membuatnya tenang. Dengan sisa-sisa tenaga, bibir Eyang bergerak, bergetar meniru ucapan Ayah.