Langit yang sekian detik lalu terang, mendadak berselimutkan kegelapan. Mendung melangkah cepat. Di atas sana, seperti ada ceruk raksasa yang menampung jutaan kubik air. Siap ditumpahkan sore nanti.
Dan ketahuilah, bahwa kelamnya langit, seolah merambat menyentuh negeri ini. Begitu sadis, teramat kritis. Tanah air ini merinding, menguapkan hawa sedemikan miris.
Dua tangan kekar itu kuat-kuat mencengkeram lengan Gladys, menyeretnya keluar dari kebun apel ini.
“Lepaskan! Kalian mau apa?” jepit bentuk bunga yang menghias rambutnya lepas, jatuh ke tanah basah bekas hujan tadi malam. Gladys memberontak, memaksa tangannya dilepaskan. Tapi apa yang didapat? Salah satu pria menamparnya keras-keras, menduyun kepala perempuan itu sampai hampir jatuh. Rambut merahnya terhempas, mengurai panjang. Jantungnya mendadak diburu rasa takut yang besar. Sangat-sangat besar.
“Kau jadi tawanan kami!” katanya sambil kembali menyeret Gladys. Pipinya memerah, sakit bukan main. Setitik darah mengalir dari sudut bibir. Daripada makin keras siksaan ini, terpaksa Gladys menurut.
Apa yang dia lihat ini sungguh memilukan. Sejak tadi banyak tentara berlarian memegang obor, hendak membakar seluruh tempat ini. Beberapa dari mereka bahkan sudah melempar obor, melumatkan pohon-pohon apel dengan api.
Semua pegawai kebun apel, tidak laki tidak perempuan, berlarian tunggang langgang. Penuh ketakutan, tegang, merinding bulu kuduknya. Berusaha melarikan diri. Seorang pria tua telanjang dada ditendang sampai tersungkur. Anaknya, laki-laki tiga puluh tahunan itu mau menolong si bapak, malang dia kena pukul kepalanya dengan pangkal senapan lebih dulu. Langsung jatuh tak bergerak. Darah mengalir, tumpah ke tanah perkebunan.
“Brengsek kalian semua! Jepang tak tahu diri!” seorang wanita tua, namanya Lek Sri, salah satu pegawai kebun apel ini juga, menantang, memukul satu tentara Jepang dengan tenaga tuanya.