Puluhan tahun kemudian.
Kota Batu tetap sejuk walaupun matahari sudah tinggi di Timur. Udaranya dingin tak tergantikan. Dari tempat aku berdiri, di balik jendela lantai dua sebuah pabrik pengolahan apel, di sebuah desa kecil bernama Tulungrejo, kau bisa melihat gunung-gunung seperti merambat di semenanjung Utara, kebun buah dan sayur digelar layaknya karpet. Para petani bekerja di ladang mereka, memakai topi dari anyaman bambu, memanggul keranjang, memetik buah atau sayur yang siap panen. Walaupun udaranya dingin, tetap saja terik matahari seperti mencubit-cubit seluruh badan. Mereka barangkali mulai letih bekerja, berkali-kali mengusap peluh di kening. Namun demi memenuhi kebutuhan hidup, sayur dan buah harus dipetik, lalu dikirim ke pasar untuk dijual.
Hampir setiap hari selalu kusempatkan datang ke sini, berdiri di dekat jendela, memegang segelas kapucino, menikmati pemandangan selagi masih jam istirahat.
Dari arah lain, terdengar suara derap langkah berat menaiki tangga. Dua tiga detik kemudian seorang wanita oriental, pendek gemuk, muncul dari balik tiga anak tangga terakhir, mendongak seperti memastikan aku ada di sini atau tidak. Lantas begitu yang dicari-cari tepat di hadapan mata, dia langsung menghela, menapak lemas, mendekat sambil menguarkan aroma keringat di ketiaknya, berdiri tak jauh dariku sambil berkacak pinggang. Mataku memicing tipis, memperhatikan keringat wanita itu yang sudah macam hujan membanjur kepalanya. Dia teman satu profesi. Sama-sama berada di bagian pengepakan keripik buah apel. Namanya Heni.
“Mentang-mentang anak Pak Direktur, mau santai-santai terus, ya?” candanya.
Aku terkekeh, berjalan mendekati Heni. Sebentar menata jilbabku yang sedikit miring disibak angin.
“Masih kurang dua menit lagi, Hen. Nanggung.”
“Tapi sepertinya kau tidak perlu lanjut, Shofia,” katanya sambil mengatur napas. Maklum, kadang kala orang berbadan gemuk memang suka ngos-ngosan setelah naik tangga. Lihat saja wajah Heni! Baru naik ke lantai dua saja wajahnya sudah memerah.
“Apa? Kau memecatku?” Mataku melotot. Heni tergelak sebentar di sela-sela napasnya yang senin kamis, lantas mengibas tangan bantetnya.
“Sudah, cepat sana turun! Pak Direktur memanggilmu di ruangannya.”
“Ayah memanggilku?” Dua alisku turun. Jarang-jarang Ayah memanggil di jam kerja.
“Mungkin kau mau diajak makan siang.”
Aku mengangkat lengan kiri, melihat rolex palsu yang melilit pergelangan tangan. Tentu sudah terlambat untuk makan siang. Sebentar lagi harus kerja. Artinya, pasti ada hal lain yang ingin ayah sampaikan. Jika sampai memanggil di jam kerja seperti ini, bisa jadi itu urusan penting. Sekian detik kemudian kami turun bersama. Dengan banyak pertanyaan menggantung di atas kepalaku.
***
Pabrik ini luasnya hampir separuh lapangan bola. Menjulang tinggi sampai tiga lantai. Dan sedang dibangun untuk lantai ke-empat. Memanjang sekian puluh meter ke Selatan. Di bagian belakang, ada lahan parkir dan tempat keluar masuk truk pengangkut apel yang cukup luas. Tiga hari sekali sebagian besar truk melakukan ekspedisi, mengirimkan kripik apel dan minuman sari buah apel produksi pabrik ini ke berbagai daerah. Saat itu lahan parkir akan lengang. Biasanya anak-anak kampung suka meminjam sebentar untuk main bola.
Dan tepat di belakang kantor tiga lantai ini, hamparan kebun apel membentang, mengukir lekuk bumi, menyejukkan mata. Semua ini adalah warisan turun temurun dari sejak jaman belum merdeka. Bisa dibilang, ini adalah kebun apel pertama di Kota Batu. Lalu sekarang tidak semua hasil panen dijual langsung ke distributor. Sebagian diolah jadi keripik, atau diambil sarinya, dijadikan minuman rasa apel yang menyehatkan, lalu dikirim ke pelosok negeri. Orang-orang bilang, inilah pabrik sari apel terbesar di Jawa Timur. Milik Pak Valin, ayahku.
Di sini, setiap hari ratusan pegawai mempunyai pekerjaan masing-masing. Bukan main sibuknya. Dari ujung tangga lantai satu, masih butuh waktu dua menitan untuk sampai ke ruang direksi. Melewati beberapa koridor, dan banyak sekali orang lalu lalang. Mirip pasar sebenarnya. Tidak pernah sepi kecuali malam hari.
Ruangan direktur ada di belakang sendiri. Bersebelahan dengan ruang manager dan para staf. Jadi kalau aku mau masuk ke sana, harus melewati puluhan staf lebih dulu. Dilihati, dilirik, bahkan ada yang menyapa sok akrab. Aku malu. Sebab tidak ada seorangpun dari divisi pengepakan, divisi kelas rendah ini, yang berseragam lusuh, berkeringat dan bau, berani masuk ke ruang direksi kecuali aku. Tentu saja mereka tahu kalau aku putri Pak Valin, tapi itu tidak bisa menjadi alasan seorang karyawan bagian pengepakan langsung boleh menemui direksi, bukan?
Tanpa mengetuk lebih dulu, pintu langsung kubuka. Sebentar aku menengok, jauh di sana Ayah sedang berkemas-kemas, sigap melangkah ke sebuah meja di belakangnya, mengambil kunci mobil. Terburu-buru. Dua alisku mengernyit.
“Siap-siap, Nak! Kita harus pulang sekarang!” Suaranya tergesa-gesa, terkesan panik. Aku bahkan tidak pernah melihat tingkahnya sampai sepanik ini.
“Ada apa, Yah?”
“Di rumah ada tamu aneh.” Ayah menoleh, keringatnya mengucur, menunjukkan ekspresi getir yang berlebihan. AC yang menyala dingin di sudut ruang ini tak cukup mampu menahan kucuran keringatnya. Bagiku, Ayah-lah yang tampak aneh.
“Orang gila maksudnya?”
“Bisa dibilang begitu,” jawab Ayah. Dia mendekat, mendesau lemas seolah ingin menghempaskan masalah—orang gila—ini keluar dari mulutnya. Menatapku dengan sorot mata yang begitu cemas. “Seseorang mengaku punya sertifikat seluruh tahan di kebun apel ini, seluruhnya, Shofia! Ini tidak main-main! Dan dia menuntut kita harus mengembalikan semua hak miliknya.”
“Apa!” Aku tersentak. Tiba-tiba ikutan panik. “Serti ... fikat?” Suaraku nyaris tak keluar. Masih tak percaya. Ayah mengangguk cepat. Tanpa menungu lagi, langsung menarik lenganku. Kami keluar cepat-cepat, melewati ruang staf dengan langkah terburu-buru. Banyak karyawan melihat kami dengan heran. Ayah bahkan tidak sempat pamit ke mereka.
“Ini aneh.” Sambil jalan Ayah menjelaskan, masih menarik lenganku. “Puluhan tahun keluarga kita tidak pernah mengalami yang seperti ini. Dari BPN juga baik-baik saja. Tidak ada yang janggal.”
“Mereka mungkin memalsukan sertifikatnya, Yah.”