Siang menjelang sore. Alvin dan Reska, dua adikku sudah pulang sekolah. Di ruang depan, Alvin masih mengenakan seragam putih abu-abunya, meletakkan tas, langsung duduk selonjoran. Reska di sebelahnya—seperti biasa—mengomel bukan main gara-gara bau kaos kaki Alvin menyebar ke mana-mana. Mereka adu mulut, rumah ini jadi ramai.
“Jangan ribut!” Aku dari lantai dua, melangkah cepat menuruni tangga. Menenteng senter dan masker. “Vin! Ganti baju sana!”
“Halah, Kak! Baru juga duduk!” dia protes. Tak juga bangkit, malah mengeluarkan smartphone, dan mulai asik sendiri.
“Kak! Baunya itu, lho!” Reska menyingkir, dua matanya menyipit sinis. Dia memang pulang lebih dulu. Dan Reska jauh-jauh lebih rajin ketimbang Alvin. Pulang sekolah langsung ganti baju, cuci kaki. Dan duduk di ruang depan sambil nonton teve. Kalau moodnya sedang bagus, dia bahkan kembali membuka-buka lagi materi di sekolah. Beda dengan Alvin.
Dan Eyang masih tetap pada posisi duduknya sejak tadi. Menatap kosong ke arah ubin.
Aku geleng-geleng kepala. Tapi ini bukan waktu yang tepat untuk mengurusi mereka. Ayah dan Ibu baru saja keluar dari kamar, membawa tas besar—barangkali nanti di gudang kami menemukan banyak barang bukti.
“Kau sudah siap, Shofia?”
Aku mengangguk. Pamitan ke Alvin. Memintanya menjaga Reska dan Eyang baik-baik.
“Aduuhh … Menjaga anak cerewet ini?” Alvin mendengkus sambil sudut-sudut matanya melirik Reska. Lantas sibuk lagi dengan game di smartphone.
Tidak mau kalah. Reska membalas. “Haduuhh! Dijagain sama orang jorok dan bau ini? Ogaahh!”
Kami terkekeh. Memaklumi tingkah kedua anak itu. Beberapa detik kemudian Aku, Ayah dan Ibu masuk mobil, cepat meluncur ke arah Utara, menuju pabrik kami di Tulungrejo. Tidak lupa Ibu membawa senter, masker, dan sarung tangan. Kami bertiga mau ke gudang tempat menyimpan dokumen perusahaan. Ruang khusus yang menyimpan segala berkas dari tahun ke tahun. Semoga saja bukti-bukti itu benar ada di sana. Bukti yang tidak mengecewakan kami.
Senter menyala, masker kupasang rapat-rapat. Untuk siap-siap barangkali nanti banyak dokumen yang harus dibawa pulang, selain tas Ibu, juga kubawa tas sekolah Reska, bungsu yang masih kelas 2 SMP. Dia memang sedikit cerewet, tapi masih bisa dibilang baik, tidak banyak mengeluh kecuali ada yang tidak cocok dengan Alvin, seperti kejadian tadi di rumah. Tentu tidak akan protes kalau tasnya dipinjam barang dua atau tiga jam ke depan. Kalau boleh aku berpendapat, Reska benar-benar mirip Ayah.
Kami sudah tiba di lantai tiga pabrik apel. Sepi orang. Hanya ada beberapa pegawai yang selayang pandang, tak peduli dengan adanya kami di sekitar mereka. Beberapa jengkal di depanku, Ayah Ibu juga sudah memakai sarung tangan. Lantas gembok dibuka, teralis gudang diangkat tinggi-tinggi. Gelap di dalam, aroma debu dan lembab langsung menyebar. Ayah masuk lebih dulu, menyalakan senter.
“Di sini tidak ada lampunya?” tanyaku. Aku baru sadar seharusnya kita tidak butuh senter kalau gudang ini ada lampunya.
“Tidak, Em ... belum dipasang. Lagipula ini tempat yang hampir tidak pernah dimasuki. Tidak ada lampu pun tak masalah,” jawab Ayah. Dia melompati beberapa kardus, menuju satu rak tinggi berisi banyak kertas.
“Menyebar! Cari di semua sudut! Apapun yang ada hubungannya dengan tahun empat puluhan!” perintah Ayah. Ibu tidak berkomentar, langsung bergerak. Aku lebih dulu memerhatikan sekeliling. Cukup luas gudang ini. Rak-rak memanjang, tinggi, dan penuh berkas-berkas. Di lantai pun berserakan kertas, dan kardus-kardus kecil yang diikat rafia, berisi kertas juga. Aku merasa ada di sebuah teka teki yang takkan mudah untuk dipecahkan. Belum-belum sudah pusing kepalaku.
“Mencari di semua sudut? Ayah bercanda?”
“Tidak ada waktu untuk bercanda!”
Kalimat itu menyudahi obrolan kami. Segera aku beranjak. Kami sigap mengambili berkas demi berkas, mengamati lembar demi lembar. Menggeleng, menghela lemas. Seperti mencari jarum pada tumpukan jerami.
Sampai hari menjelang petang, masih juga belum ketemu. Ibu sudah mulai letih, duduk-duduk saja di dekat Ayah, membantunya memberesi kertas-kertas yang Ayah lempar. Satu jam kami memutuskan istirahat, salat magrib, makan di warung terdekat. Tidak banyak bicara. Lagipula dari wajah-wajah ini, tak perlu bicara, sudah tampak sekali sedang putus asa.