Markas Rahasia tentara Jepang. Di tengah hutan, malam hari. Ketika negeri matahari terbit itu sedang getol-getolnya ingin menguasai Tanah Pertiwi.
Ruangan ini pengap, berdebu, kotor, dan sempit. Genting di bagian atas ada yang bolong. Sudah tentu di malam yang hujan begini, airnya menelocor masuk, dan orang-orang yang ada di dalamnya tak mau dekat-dekat titik bocor itu. Takut basah baju mereka. Satu lagi. Ruangan ini hanya diterangi oleh lampu tempel yang diletakkan di luar. Bias kecil sinarnya masuk melalui sela-sela jendela.
Dari situ juga. Dari jendela kaca yang satu dua bagiannya sudah pecah itu, Sukma mendekatkan kepalanya, menyeka beberapa carik rambut yang menutupi mata. Melihat di antara jatuhnya air hujan, dua tentara Jepang berdiri kekar menghadap ke timur. Tak sedikitpun bergerak, juga bicara. Mungkin mereka akan terus berdiri di situ sampai pagi datang. Harapan untuk kabur dari ruangan pengap ini pupus sudah. Perempuan bermata lebar itu menghela lemas.
“Apa yang kau lihat?” Gladys bertanya. Sejak tadi ia duduk bersandar di sudut, memeluk lutut, memerhatikan tingkah Sukma. Gara-gara bersandar di tembok kotor, dress putihnya menjadi kotor. Rambut merahnya kusam, berantakan.
“Ada dua penjaga di depan. Tidak ada harapan. Kita tidak bisa kabur, teman-teman.” Sukma bicara lirih, menoleh, sedetik kemudian memutuskan turun dari kursi kayu yang ia panjat. Kalimat itu membuat lima perempuan lain yang ada di ruang pengap ini, termasuk Gladys, lemas seketika.
“Apa yang akan mereka lakukan terhadap kita?” Seorang gadis belia usia tiga atau empat belasan bertanya dengan nada gemetar, cemas. Bak sedang berhadapan dengan monster raksasa. Berkeringat dingin pula di tengkuknya. Kasihan anak itu. Masih muda, bau kencur, dan pendek kurus. Satu-satunya di antara mereka yang paling takut.
Salah satu tawanan yang lain mendekat, memeluk gadis belia itu agar tabah. Sukma memutuskan duduk di samping Gladys, menjawab hanya dengan satu gelengan pelan.
“Kita akan dijadikan budak nafsu mereka.” Gladys bicara lirih. Pandangannya mengedar kosong. “Tentara-tentara biadab itu memang seperti hujan darah. Mulanya tampak segar, padahal mengerikan saat tetesannya menyentuh wajah kita.”
Ruang pengap sebesar 3x4 meter itu sunyi. Hanya suara hujan di luar yang terdengar, dan kucuran air dari genting yang bolong. Selang beberapa detik kemudian, gadis muda yang tadi makin gemetaran, langsung menangis, merapatkan pelukan dengan teman di sebelahnya.
“Kalau pun kita melawan saat mereka membuka pintu ruangan ini, tak mungkin bisa melewati ratusan tentara yang lain.”
Gladys menggeleng. “Tidak, Sukma! Kau salah! Setahu yang kulihat, sejak tadi kita ditangkap, sampai sekarang, hanya 43 tentara Jepang di sini. Tak sampai ratusan.”
Sukma tertawa mendengar jawaban Gladys. Sedikit mencibir, sambil mengibas tangan tak percaya. “Memangnya kau peramal? Sudah kau hitung pasti jumlah mereka?”
Empat perempuan lain di ruang ini juga menatap Gladys aneh. Berpikir bagaimana mungkin gadis itu mengatakan jumlah angka yang pasti dari banyaknya tentara di sini? Sekilas dua mata Gladys memperhatikan mereka, melirik Sukma yang memandangnya aneh. Dia lalu menunduk, menaruh pipi di atas lututnya yang didekap. “Aku tahu, jelas sekali setiap gambaran itu di luar kepalaku.”
“Maksudmu?”
“Banyak tentara masuk ke kebun ayah, lima orang membawaku. Lalu di otto, ada dua tentara lain. Ketika kalian berlima ditangkap, ada tiga otto yang membawa kita ke rumah tua ini. Satu berisi enam tentara, yang dua delapan semua. Total dua puluh dua.”
Sejenak Gladys mengedarkan pandangan. Lima orang yang ada di ruangan ini tak berkedip, memerhatikan Gladys. “Ketika sampai, tiga otto sudah parkir lebih dulu. Di depan pintu ada dua penjaga. Mereka lalu membawa kita melewati ruang depan yang luas. Sepuluh tentara sibuk sendiri-sendiri. Lalu melewati dapur yang pintunya kebetulan dibuka, lima orang sedang memasak. Perjalanan sampai di ruangan ini kita hanya melewati dua tentara telanjang dada. Total empat puluh satu. Dan di luar situ ada dua penjaga seperti yang kau katakan tadi, kan?” Gladys menoleh ke Sukma. Wajah perempuan itu tampak heran, tak percaya, melongo.
“Wow!” Tiga detik lewat, baru Sukma bicara. “Kau serius?”
Gladys mengangguk, menata duduknya, meluruskan kaki, menyandarkan kepala ke tembok kotor.
“Bagaimana bisa kau ingat semua itu?” Perempuan di seberangnya bertanya.
“Tidak tahu. Sejak kecil aku bisa mengingat semua yang kulihat. Menyimpannya di dalam otak, lalu kuambil untuk dilihat lagi. Seperti foto. Kau bisa melihatnya lagi kalau lupa waktu itu pakai baju apa, kan?”