Tahun 1938, Kota Malang.
Sore itu kabar baik terbang ke telingaku. Ibu tiba-tiba membuka pintu kamar, masuk tanpa mengetuk pintu, melihatku masih menyisir rambut di depan cermin. Ini jarang sekali terjadi. Ibu selalu lebih dulu mengetuk pintu sebelum masuk. Kalau tidak, tentu ada yang penting yang ingin disampaikan.
“Cepat rapikan rambutmu! Kau tidak mau melewatkan permainan biola Edgar, bukan?”
Aku cepat menoleh, melihat Ibu mengenakan kebaya dan jarik batik khas orang Jawa. Rambutnya tak digelung. Hanya diikat ke belakang saja. dibiarkan satu dua helai jatuh ke pundak.
Beliau berkacak pinggang di ambang pintu. Senyumku mengembang, saat itu juga kulempar sisir ke atas nakas, bangkit, terburu-buru melangkah keluar kamar, “Minggir, Bu!” Bahkan Ibu tak kuhiraukan. Aku berlari cepat, tak sabar jumpa sepupu jauhku itu.
Rumah ini cukup besar. Dari ruang tamu, ada beberapa lorong yang menghubungkan berbagai tempat seperti dapur, perpustakaan ayah, dan tempat kerjanya. Kamarku berada di lorong paling kanan, paling pojok, dekat dengan taman belakang rumah. Langkahku cepat, menggema, suaranya seperti merambat ke dinding-dinding lorong. Sudah tentu mereka yang ada di ruang tamu mendengar.
Aku berhenti ketika sampai di ruang tamu. Ayah dan kedua orang tua Edgar duduk mendengarkan. Terlambat! permainan biola Edgar sudah akan dimulai. Aku belum menyapanya. Belum juga saling memencet hidung seperti kebiasaan kami kalau bertemu. Dua tiga detik kemudian Ibu menyusul, berdiri tepat di sampingku.
Edgar tersenyum tipis, melirik ke arahku, mengedipkan mata seperti maksudnya adalah ‘Halo, Gladys!’. Kubalas senyumnya, melambaikan tangan. Dua detik kemudian suasana hening ruang tamu mendadak riuh oleh suara biola Edgar. Dia menggesekan dawainya dengan sangat fasih. Dua tangan kurus itu begerak lincah. Aku juga melihat tubuhnya ikut bergoyang menyatu dengan alunan musik dari biola. Ini suara yang menyentuh. Menakjubkan. Sampai usiaku yang ke tiga belas ini, tak pernah aku melihat langsung orang bermain biola.
Sekian menit kami semua membisu, menikmati setiap nada yang melayang-layang. Bahkan ibu Edgar sampai mengusap air mata dengan sapu tangan. Setelah permainan berakhir, kami tepuk tangan, Edgar membungkuk hormat. Kini, dia sempatkan melambaikan tangan. Kubalas singkat.
“Wilhelmus? Kau membuat kami syok.” Ayah menghela, merubah posisi duduk, meneguk sedikit kopi yang ada di atas meja. Tak hanya ibu Edgar rupanya, ayah juga tampak sembab. Aku tidak mengerti kenapa mereka jadi lembek mendengar suara musik itu.
“Itu lagu kebangsaan Belanda, Nak.” Ibu mendekatkan bibirnya ke telingaku, berbisik. “Mereka mungkin rindu dengan negaranya.”
Aku mengangguk-angguk. Oh, pantas ....
Tapi selang beberapa detik kemudian kesedihan mereka pudar. Ayah menyuruh bibi dan paman meminum kopi, menikmati hidangan di meja. Masih memegang biola, Edgar berjalan mendekatiku. Aku lari-lari kecil ke arahnya.
“Gladys! Sepupuku yang paling cantik!” Edgar membentangkan tangan. Aku melompat, memeluknya. Beberapa tahun kami tidak bertemu, dia tampak lebih tinggi, dan pandai main biola pula.