Gadis Biola

Auni Fa
Chapter #6

Senapan

Batu, Malang, dua tahun kemudian. Usiaku merangkak, baru beberapa bulan lalu menginjak angka 16.

Sekian lama rumah kami diwarnai suara biola. Sebagai satu-satunya orang yang gemar bermain biola, Ayah sampai mendatangkan guru dari Belanda. Seorang perempuan berambut tembaga, bernama Arabella. Dia memberi banyak pelajaran. Teori, juga bagaimana memainkan musik-musik klasik dengan biola. Tidak perlu lama belajar dari Arabella. Setahun lewat tiga bulan saja, aku sudah menguasai beberapa karya komponis musik klasik Eropa. Kadang kala kupelajari sendiri lagu-lagu tanah air yang sempat kudengar dari radio.

“Kau bisa sedikit saja meniru nada ini, Gladys?” suatu ketika Arabella memasang piringan hitam, memutarnya. Satu lagu klasik baru terdengar asing sekali di telingaku, namun nada-nadanya menyenangkan. Dia bilang, judulnya Ode to Joy.

Lantas, Arabella mempraktikkan musik itu dengan biolanya sendiri. Menunjukkan padaku setiap nada dan gesekan yang harus kupelajari. Sekali lihat, langsung kucoba memainkannya. Saat itu juga perempuan berambut tembaga itu tercengang dengan kemampuan bermain biolaku. Setiap part nada Ode to Joy tak setitik pun terlewati.

Oh My God, Gladys! Seperti biasanya. Kau memang luar biasa!”

Aku bisa melihat dua mata bulatnya yang melotot, mematung tepat di depanku.

Kehadiran Arabella singkat sekali. Sebab dia merasa tak lagi punya materi yang harus kupelajar. Wanita Belanda itu pulang ke negaranya di tahun 1941. Dan mulailah Ayah membawaku ke Surabaya, memperkenalkan aku kepada banyak klien. Mempertunjukan kemampuan yang kudapat dari belajar setahun bersama Arabella.

Seperti yang Ayah duga. Aku berhasil memukau penonton, penikmat musik, dan para musisi lokal. Sejak itu, permainan biolaku banyak menghias acara-acara musik, pernikahan, dan restoran-restoran mewah para bangsawan.

***

Jika kau tanya seberapa tinggi pinang kupanjat dalam bermain biola? Maka bisa kubuktikan dengan tiga penghargaan yang terpajang di dinding ruang tamu selama dua tahun terakhir aku bermusik. Jika kau tanya seberapa ahli aku menyulam nada-nada? Ratusan orang pernah kubuat berbunga-bunga dengan suara biolaku. Ratusan lagi pernah menangis ketika sempat kumainkan Waarom Treur je zo Mijn Liefste karya George the Fretes di Hotel Ibis, Surabaya.

Aku sempat terkenal saat itu. Namaku sebagai violinist menggema tidak hanya di kota ini, tapi Surabaya, Madiun, sampai Yogyakarta. Sebab aku pernah mendapat surat undangan untuk menghadiri sebuah acara di Yogyakarta setahun yang lalu. Kutolak. Usiaku masih terlalu muda untuk perjalanan jauh sendirian. Ayah menulis surat balasan penolakan yang sopan.

Tapi suatu pagi, semua rencana masa depan, ekspektasi tinggi menjadi seorang musisi mendadak buyar. Ketika aku bermain biola untuk bunga-bunga di halaman depan rumah, dari jauh kulihat Ayah dan Pak Sampun datang tergesa-gesa, membawa banyak apel di otto untuk dijual ke luar kota. Berlarian masuk rumah. Sejenak aku berhenti, memperhatikan mereka, lantas keduanya kembali sambil membawa senjata laras panjang. Pak Sampun lebih dulu ke otto. Ayah berhenti, melihatku, sedikit senyum tergambar dari wajahnya yang letih. Lantas berjalan pelan mendekat.

“Kenapa musiknya berhenti?” Ayah menghela, peluh di wajahnya tidak diusap, tampak mengkilap.

Aku diam, gantian melihat ayah, lalu senapan yang ada di tangan kirinya. “Kenapa ayah membawa senapan?”

“Oh, ini.” Ayah mengangkat senapannya, mengotak atik, tetap tersenyum. “Untuk jaga-jaga. Kau tahu kan kalau kadang-kadang di perjalanan banyak binatang buas, atau paling tidak pencuri yang menghadang di tengah jalan? Senjata ini bisa membuat mereka takut.” katanya sambil mengarahkan moncong ke langit, membidik sesuatu. Tangannya gemetar, seperti orang ketakutan.

“Jangan bohong, Yah!” Aku mengelak. Memicing ke arahnya. Sedikitpun ayah tak berani melihatku. Seolah ingin menyembunyikan kebenaran dari sorot matanya. “Aku tahu apel yang ayah bawa terlalu banyak untuk dijual di kota lain yang tidak searah ke Surabaya. Artinya ayah mau menuju utara. Dan jalan ke sana tidak buruk. Ramai kendaraan. Tidak mungkin ada pencuri, atau binatang buas.”

Ayah diam, masih tersenyum, menurunkan senjatanya, belum berani melihatku.

“Usiaku sudah delapan belas tahun, Yah. Aku bukan anak kecil lagi.”

Dua tiga detik diam. Ayah lalu membelai rambutku yang kemerah-merahan terkena matahari. “Beruntung sekali ayah punya anak sepertimu, Gladys. Pandai, kritis, tidak mudah dibohongi. Kau bisa menjadi orang penting di negeri ini kelak.”

“Ayah tidak menjawab pertanyaanku.”

“Baik ... baik ....” Ayah menyerah, menghela napas panjang. Terpaksa memberitahuku. “Beberapa bulan lalu tentara Jepang masuk ke Jawa, memberi banyak sekali harapan bagi negeri ini. Mereka berhasil memulangkan sebagian besar orang Belanda. Dan selentingan tentang keberadaannya di Jawa Timur mulai terdengar.”

“Apa mereka tidak pandai diplomasi?”

“Em ... entahlah. Itu sebabnya ayah membawa ini. Seandainya mereka macam-macam, akan kukempeskan ban otto mereka. DORR!!” Ayah mengarahkan moncong senapannya ke bawah, pura-pura menembak. Aku tersenyum tipis.

Lihat selengkapnya