Gadis Biola

Auni Fa
Chapter #7

Pohon

Jarak dari rumah ke kebun apel cukup jauh. Seandainya kami jalan kaki, butuh waktu kira-kira satu jam perjalanan. Melewati jalan setapak di tengah hutan, desa-desa kecil yang ramah penduduknya. Menyeberang sungai, melompati batu-batu licin.

Tapi karena kami naik otto. Maka harus lewat jalan besar, menembus pedesaan yang cukup modern. Warganya lebih banyak, berpakaian rapi, beberapa rumah bisa dibilang bagus dan cukup besar, walaupun tidak sebesar rumah Ayah. Kebun apel itu berada di ujung desa. Sudah tidak jauh lagi.

Lebih dulu Ayah turun dari otto, aku menyusul. Memandangi halaman depan kantor Ayah. Banyak bunga-bunga seperti di rumah, lebih lebat dari yang di rumah. Sebenarnya tempat ini tidak seperti kantor. Hanya rumah biasa yang di belakangnya membentang lahan apel. Saat kami masuk, sudah banyak pegawai Ayah bersiap untuk kerja. Rata-rata masih duduk, ngopi, ada pula yang sarapan apel, baru memetiknya dari kebun. Mereka melihatku, seperti heran, sebab bertahun-tahun tidak pernah Mr. Van Dort membawa putrinya ke kebun.

“Selamat Pagi!” Ayah berjalan tenang, menyapa semua orang. Mereka membalas ramah. Ada yang menawarkan kopi juga. Ayah tersenyum, menolak sopan. “Sudah ... tadi.”

Aku masih berjalan di belakang Ayah, memperhatikan sekitar. Tak ada yang berubah dari rumah ini sejak beberapa tahun lalu aku datang. Ayah tidak merenovasi atapnya yang berjamur, atau melapisi cat baru di temboknya. Rumah ini seperti hampir mau roboh.

“Kau akan Ayah kenalkan dengan pemandu wisata di sini.”

Aku terkekeh. Seperti tempat wisata saja.

“Ayah serius! Dia memang pegawai kebun ini. Salah satu orang yang menguasai seluruh kebun. Paling tahu buah apel mana yang paling enak, dan suka protes kalau kebijakanku tidak sesuai. Namanya Mijan.”

Sebentar aku berpikir. Sambil kami terus berjalan, masuk ke sebuah bilik kecil tanpa pintu. Ayah meletakakan jaketnya di gantungan baju tepat di tembok samping meja.

“Kalau dia selalu protes, kenapa tidak Ayah pecat?”

“Memecat Mijan?” Suara pria di belakang terdengar. Aku menoleh. Seorang pria paruh baya berdiri tak jauh dari kami. Jambangnya hitam lebat, berkepala plontos. Dan coba lihat baju apa yang dia pakai! Tampak kekecilan, tidak muat dengan perutnya yang gendut. Berdiri tegak, membawa lembaran-lembaran kertas di tangannya yang gempal. “Mungkin lama-lama Mr. Van Dort yang dia pecat,” tambahnya.

Ayah tertawa lebar. Geleng-geleng maklum. Pria itu lantas masuk, menyerahkan kertas-kertas tersebut ke Ayah. “Ini perkiraan jumlah apel manis yang ditulis Mijan. Katanya, cuaca sedang bimbang, hujan rindu ingin jatuh ke bumi. Jadi di musim panas ini, bisa jadi akan turun hujan tiba-tiba.”

“Itu berarti kita harus siapkan persediaan goni untuk membungkus bunga-bunganya. Seminggu lagi kalau aku ke Malang, sekalian akan kubeli.” Ayah mengangguk-angguk. Sejenak berpikir tentang cuaca, tiba-tiba ingat kalau aku masih di sini. Lantas memperkenalkan pria gemuk itu.

“Gladys, kenalkan, dia Pak Suharto, panggil saja Pak Darto. Pak Darto, ini Gladys, putriku.”

“Ya ... aku tahu. Pernah kulihat beberapa tahun lalu waktu masih kecil,” kata Pak Darto. Kami bersalaman. Aku tersenyum kecil.

“Pak Darto, tolong bawa Gladys ke Mijan. Suruh dia mengajari apa saja.”

“Apa saja?” Pak Darto ragu-ragu.

“Iya. Gladys akan belajar mengurusi kebun. Dia bisa belajar banyak dari Mijan.”

Pak Darto manggut-manggut, sedetik kemudian mendekatkan kepalanya padaku. “Semoga kau tidak diajari melompat di air terjun.”

“KECUALI ITU!!” Ayah dengar, langsung menyela. Suaranya sedikit lantang, menoleh ke Pak Darto dengan tatapan tajam. Pak Darto tergelak, lantas mengajakku pergi dari ruangan ini.

Dari obrolan mereka tentang Mijan, aku semakin penasaran bagaimana Mijan itu. Dia mungkin orang yang sok hebat. Sebab kata Pak Darto, dia bisa saja yang memecat Ayah. Dan lagi, Ayah sampai bicara keras setelah mendengar kalimat ‘lompat di air terjun’. Aku mungkin tidak akan suka dengan Si Mijan itu.

***

Kebun Ayah luas. Bahkan saat pertama aku melihat kebun ini, seperti tidak ada habisnya. Aku dan Pak Darto mulai menelusuri pohon-pohon apel yang berbunga banyak. puluhan pegawai menyebar di mana-mana. Laki-laki perempuan. Pak Darto bertanya ke siapa saja yang lewat.

“Kau tahu Mijan?”

“Di dekat pohon mungkin,” jawab petani itu tanpa menoleh. Alisku turun, bingung dengan jawabannya. Kami lanjut berjalan. Lalu bertanya lagi ke orang yang sibuk bekerja tak jauh dari mereka.

“Tahu Mijan di mana?” Pak Darto sedikit berteriak.

Lihat selengkapnya