Hujan deras, suaranya bagai atap rumah ini dilempari batu dari luar. Ruang pengap terasa lebih segar. Angin meniup dari lubang kaca jendela yang pecah, menyisir bau-bau tak sedap, membuangnya jauh-jauh. Agaknya, ke-enam perempuan yang kini mendekam di dalam ruang pengap ini sedikit bisa bernapas lega.
Gladys menghentikan ceritanya, melihat sekelebat lampu otto membias dari jendela. “Ada yang datang!” Dia bangkit, melangkah ke dekat jendela, menata kursi, memanjat. Dari balik situ, di antara hujan deras, Gladys melihat beberapa orang keluar dari otto, berlarian ke dua penjaga di luar.
“Ada tiga orang yang baru datang. Pakaiannya tidak sama dengan tentara Jepang lain.”
“Mungkin kapten mereka.” Perempuan berhijab menjawab pelan.
“Biar aku saja!” Sukma menarik-narik tangan Gladys, menyuruhnya turun. Setelah turun, dia buru-buru naik kursi, menengok ke luar. “Itu bukannya Jenderal Hitoshi?”
“Siapa itu?” tanya Gladys.
Sekian detik Sukma tidak menjawab, melihat beberapa orang itu masuk rumah besar ini, lantas dia turun dari kursi. “Bulan lalu kami sekeluarga pergi ke Surabaya. Sempat melihat Jenderal Hitoshi berpidato di depan balai kota.”
“Pidato tentang apa?”
Sukma hanya mengedikkan bahu, lantas kembali duduk di tempat semula. “Pidatonya memakai bahasa mereka.”
“Aku pernah tahu beritanya di radio!” Gadis empat belas tahun yang duduk di seberang kami angkat bicara, tersenyum. Tampak bersemangat. “Penyiar radionya bilang, bahwa kedatangan Jepang untuk mengangkat derajat orang-orang Asia. Jenderal Hitoshi akan memberantas penjajahan Belanda di negeri ini, katanya. Membebaskan kita dari penjajah yang ratusan tahun menghuni negeri ini.” Dia bicara seolah-olah Jepang adalah pelindung negeri ini.
“Mengangkat derajat? Cihh!!” Sukma mendecih. Tidak percaya. “Dengan mengurung wanita-wanita pribumi seperti ini?”
Ruangan kembali senyap. Hanya suara hujan yang terdengar. Gadis empat belas tahun kembali murung. Benar juga. Batinnya.
Gladys kembali duduk di dekat perempuan berhijab. Satu-satunya dari ke-enam orang di ruang pengap ini, hanya perempuan itulah yang tampak tenang. Bibirnya terus bergetar oleh dzikir. Menunduk, sesekali memejamkan mata.
“Kau tidak takut?” jemari tangan Gladys pelan menyentuh lengannya. Sedetik kemudian dua mata perempuan berhijab itu terbuka, melirik ke arah Gladys, tersenyum tipis. Sekalipun wajahnya kotor, tampak sekali lebih berseri-seri ketimbang semua orang yang ada di sini.