Tepat seperti dugaanku! Di bawah pohon jambu, Mijan merebahkan diri, istirahat. Seperti kucing aku mengendap-endap, melangkah mendekat. Dari sini, terlihat sekali badannya yang legam tampak lusuh, kotor usai bekerja sejak tadi pagi. Tak jauh di sebelahnya, ada sebuah rantang kecil berisi bekal makanan yang dia bawa dari rumah. Kutengok, sudah habis. Sisa remah-remah nasi saja. Aku menggeleng.
“Makan sendirian! Tidak mau bagi-bagi, kau?”
Kedua mata Mijan langsung terbuka, menengok sekilas kepadaku, lantas cepat-cepat bangkit dari tidur. “Eh, Non Gladys ....” Sambil mengibas-ngibas baju dan celananya yang kotor, banyak ditempeli rumput-ruput kering. Tampak sekali dia gugup. Aku terkekeh.
“Hari ini tidak ada pelajaran baru?”
Mijan garuk-garuk kepala, merapikan rantang yang berserakan. “Mmm ....” tak dijawab. Bahkan setelah rantang itu tersusun rapi, dia letakkan di dekat batang pohon, lantas tersenyum kecil.
“Kenapa tersenyum? Kutanya, tidak ada pelajaran baru hari ini?” kedua alisku turun. Melihat pria itu tersenyum aneh, aku jadi merasa ada yang salah dengan penampilanku. Sebentar aku merapikan rambut, barangkali berantakan. Mengusap wajah, barangkali ada sisa nasi atau kotor di pipi. “Ada yang aneh?”
“Tidak,” jawabnya singkat. Satu dua langkah mendekat, melihat ke barat, menunjuk matahari yang bergerak jatuh. Sudah hampir sore. “Tapi ini sudah mau sore, Non. Kenapa tidak besok saja?”
“Ya, kalau bisa sekarang, kenapa tidak?”
Sejenak diam. Mijan garuk-garuk kepala, berpikir. Lalu pindah, garuk-garuk leher, punggung, perut, kaki. Badannya gatal-gatal, berkeringat. Seandainya aku ada di posisinya, tentu sudah pulang mandi. Tiduran di atas rumput seperti tadi malah akan membuatnya semakin gatal-gatal.
“Ya sudah, pulang saja sana! Aku juga tidak mau diajari pria yang kotor, dan garuk-garuk terus.”
Mijan tertawa, menggeleng singkat. “Non Gladys mau belajar tidak? Ada satu pelajaran berharga yang tidak boleh kau lewatkan saat hari menjelang sore,” katanya.
“Oh ya? Apa?” aku penasaran.
“Ikut aku!” Mijan melangkah ke menuruni tanah rumput ke arah barat, menuju Hutan Rejo.
“Kau mau ke mana?”
“Mengikuti orang-orang itu!” Mijan menunjuk tiga pegawai wanita yang tampak menuruni jalan setapak, masuk hutan yang gelap. “Atau kupanggilkan mereka? Supaya mereka yang mengajarimu?”
Aku melangkah pelan, berdiri di sebelah Mijan. Melihat mereka tampak santai masuk hutan, seolah-olah memang ada tujuan tertentu yang harus dilakukan demi kelangsungan kebun apel. “Mereka benar-benar pegawai sini, kan?”
“Tentu! Lek Sri, Lek Was, sama yang masih seusia Non Gladys itu, Warsinah.” Mijan melangkah dua tiga tapak ke depan. “Akan kupanggil, ya! Biar kau belajar dengan mereka saja!” Baru juga bersiap memanggil, sudah kucegah. Aku tidak mau diajari mereka. Alasannya sederhana. Karena belum kenal, dan yang pasti Mijan terlihat lebih pandai dari semua pegawai di sini.
Maka, sudah diputuskan. Sore itu, aku dan Mijan menuruni jalan ke barat, menuju gelapnya hutan. Pohon-pohon yang rindang membuat sinar matahari tak bisa menyelip masuk. Langkah Mijan cekatan, melompati tanah-tanah gembur, berpegangan pada pohon-pohon. Tak peduli meskipun tapak kaki dan tangannya kotor.
Sementara aku, baru kali ini selama hidup memasuk hutan. Suara hewan terdengar di mana-mana. Aku merinding. Takut tiba-tiba ada harimau mengintai, lalu melompat menerkam dari belakang.
Sepatuku kotor, telapak tangan ini sudah macam tanah liat saja. tak tampak garis-garis tangannya. Napasku diburu, lelah. Keringat mengucur di seluruh wajah. Aku berhenti dulu, menyandarkan punggung di sebuah pohon. “Stop! Stop, Mijan!”
Dari sana, Mijan berhenti, menoleh, berjalan kembali. “Sebentar lagi kita sampai, Non!”
“Kau serius?”
Mijan tersenyum ramah, mengangguk-angguk. Kembali berjalan menjauh. “Cepat! Akan kutunjukkan sesuatu! Aku yakin semua penat selama perjalanan ke sini akan hilang.”
“Menunjukkan apa?” Rasanya aku mau kembali saja. Lelah. Bahkan telingaku sudah tak begitu konsentrasi mendengar ucapan Mijan. “Apanya yang hilang?”
Mijan hanya terkekeh.
Tak lama kemudian. Terdengar sayup suara air sungai. Deras seperti kucuran hujan, beradu dengan suara burung dan tonggeret yang tidak berhenti-berhenti. Udara semakin sejuk, dingin. Aku juga mendengar suara tawa anak-anak. Dari jauh, Mijan berdiri, memanggilku, menyuruh cepat ke situ. Aku terus melangkah, menyibak daun-daun yang menutupi jalan, ketika itulah perasaan lelah ini tiba-tiba sirna.
“Wow!” Dua mataku terbelalak. Tepat tak jauh di depanku, air terjun setinggi puluhan meter gagah berdiri.
“Ke sini, Non!” Mijan memanggil lagi, menyuruhku mendekat. Semangatku tiba-tiba muncul. Benar kata Mijan tadi. Langsung hilang letih-letih selama perjalanan. Aku lari-lari kecil mendekati air terjun, mendekati Mijan. Dari tempat kami berdiri saat ini, di ujung tebing, bisa kulihat di bawah sana, kira-kira sepuluh meteran dari sini, sungai besar mengalir tenang ke arah utara. Dan suara anak-anak itu! Sudah kuduga. Ada beberapa anak desa yang mandi di bawah air terjun. Melompat, berenang, bermain air. Mereka gembira sekali.
“Mereka dari desa mana?” alisku mengernyit. Tak percaya saja di tengah-tengah hutan begini, di antara lebatnya pohon-pohon, ada anak-anak yang sepertinya sudah sangat akrab dengan alam liar.
“Kau pasti tidak percaya.” Mijan menoleh ke arah air terjun, lantas tangannya menunjuk ke sana. “Di sana! Agak jauh di belakang air terjun itu, Non. Ada sebuah desa kecil yang cuma dihuni beberapa puluh kepala keluarga. Dan mereka semua tahu siapa kami. Kenal dengan Mr. Van Dort. Jadi jangan heran kalau anak-anak tadi juga mengenalku.”
“Serius?”
Mijan mengangguk. “Kami sebulan sekali ke sana. Mengantar apel untuk mereka.”
“Mereka salah satu pelanggan kita?” aku tersenyum kecut. Tak percaya. Mijan malah tergelak, mengibas tangan seolah menganggap ucapanku konyol.
“Tentu saja bukan! Mereka masih terlalu primitif untuk membeli buah mahal Mr. Van Dort.”
“Lantas?”
“Kau boleh menyebutnya sedekah, Non. Mr. Van Dort yang menyuruh kami melakukan itu. Jadi setiap bulan kami harus mengirim beberapa keranjang apel untuk seluruh penduduk desa itu. Gratis! Mereka tak boleh bayar sepeser pun.”
Aku menggeleng, menghela lemas. Tak begitu suka dengan pemberian apel gratis itu. “Bukannya itu malah merugikan? Harusnya Ayah menjualnya saja ke luar kota. Kita bisa dapat untung lebih banyak.”
Diam, hanya suara air terjun yang berisik. Mijan bahkan cuma melirik sengit ke arahku. Sebentar aku memberanikan diri balas melihatnya. Tapi sepertinya tidak kuat. Baru satu dua detik lewat, rasanya ingin membalik badan, malu.
“Ap … apa lihat-lihat?” tanyaku canggung. Sebentar merapikan rambut yang sedikit berantakan.
“Non Gladys memang pandai. Tapi masih harus banyak belajar dari sifat baik Mr. Van Dort.”
“Ayah memang baik. Aku harus belajar apa lagi?”
“Tentang sedekah, Non.” Kata Mijan pelan. “Mr. Van Dort percaya bahwa satu pemberian kecil saja, bisa dibalas berkali-kali lipat. Dengan doa, kesehatan, bahkan boleh jadi dengan pengorbanan. Ah, Non Gladys masih belum paham apa-apa.”
Aku garuk-garuk kepala. Memang. Aku masih awam. Tidak paham apa-apa. Tentang sedekah yang dibalas berkali-kali lipat seperti kata Mijan tadi juga tidak paham.
Mijan mengibas tangan. “Sudahlah! Belajarnya pelan-pelan saja.” Lantas dia bergerak sedikit menjauh dari tebing. “Kau mau mandi, Non?” tawar Mijan.
“Kau bicara apa?” Alisku turun, berkacak pinggang.
Mijan tertawa renyah. “Bercanda! Salah sendiri tadi tidak mau kupanggilkan Lek Sri. Padahal mereka juga mau mandi. Tapi di sana!” Dia menunjuk arah sungai yang jauh. “Tempat biasanya perempuan-perempuan mandi.”