Tiga puluh menit sudah secangkir kopi di atas meja menemaniku. Waktu beranjak pagi. Di batas timur sana, mulai tampak garis-garis sinar matahari. Sejak tadi aku sudah bangun, membuka kerai jendela besar ruang tengah, duduk di kursi. Sibuk mengatur suara pada dawai-dawai biola.
Para pembantu yang bangun sejak subuh tadi, beraktivitas seperti biasa. Ada yang memasak, mencuci pakaian, dua orang bertugas bersih-bersih rumah. Mbok Ija kebagian bersih-bersih ruang tengah, membawa sapu dan cikrak, sumringah ketika melihatku pagi-pagi sudah duduk tidak jauh dari jendela besar, memakai dress putih, rapi. Rambut disisir halus, terurai ke belakang. Sedang memegang biola yang lama tak kumainkan.
“Waah, ruangan ini akan hidup lagi setelah beberapa hari tidak ada suara biola dari Non Gladys.”
Aku tersenyum tipis. Bisa saja Mbok Ija.
“Mbok Ija suka suara biola ini?”
“Tentu! Suaranya kadang-kadang membuatku ingin berjoget.”
“Joget?”
“Iya!” Sebentar Mbok Ija berhenti menyapu, menyandarkan sapunya di dinding. “Non Gladys kadang-kadang memainkan Geef Mij Maar Nasi Goreng. Itu lagu favorit para pembantu di sini. Lalu kami akan memasak nasi goreng untuk sarapan kalian.”
Aku tergelak, ada-ada saja Mbok Ija. Sebentar kemudian, aku memainkan lagu itu untuk menghibur Mbok Ija. Dia kembali menyapu, sambil berdendang menyanyikan lirik lagu tersebut. Satu dua kali pinggulnya bergoyang. Aku tertawa. Tak lama berselang, Ibu datang, memapah Ayah yang memakai jaket dan syal. Wajahnya pucat. Mereka menuju ruang tengah. Sebentar aku berhenti, suara biola hilang, Mbok Ija ikut berhenti bergoyang, menyapu sambil bernyanyi lirih saja.
“Kok berhenti?” tanya Ibu. Mereka sudah sampai, duduk di dekatku.
“Seharusnya ayah istirahat di kamar! Tidak keluar dulu!” Aku tidak menjawab pertanyaan Ibu, malah memarahi Ayah. Sambil menata jaket dan syal, ayah tertawa riuh, menyandarkan punggungnya, menghela lemas.
“Ayah capek-capek ke sini mau dengar kau bermain biola, Gladys,” ungkap Ibu.
“Oh ya? Sebentar ....” Aku bangkit, berdiri di tengah-tengah ruangan. Bersiap memainkan biola.
“Lagu apa?”
“Terserah. Yang bisa menghibur kami,” ungkap Ayah terbata-bata. Kasihan, wajahnya tampak pucat tak bersemangat. Aku menarik napas, bersiap memainkan sebuah lagu yang akan menghibur di kala pagi yang dingin, dan separuh awan mendung sudah menggantung menutupi matahari.
Sonata Opus 13 No.8 Pathetique 3rd dari Ludwig van Beethoven adalah pilihan yang elegan. Arabella pernah beberapa kali mengajariku beberapa part instrumental ini. Semuanya masih melekat di atas kepalaku.
Musik merambat ke setiap dinding, merangkak pada lantai-lantai. Aku merasakan warna ruangan ini seolah-olah lebih cerah. Ayah memejamkan mata, tersenyum. Menikmati setiap nada ringan yang keluar dari biolaku. Ibu duduk di dekatnya. Mbok Ija, sekilas kulihat dia kembali berjoget. Aku tertawa. Di pagi yang mendung ini, nada-nada gembira Pathetique membuat kami lebih semangat. Tempo sedikit kupercepat, Ayah membuka mata, melihat gayaku memainkan karya sang komponis dengan begitu epik. Mbok Ija semakin heboh pundaknya berjoget.
Empat menit lewat. Akhir dari konser singkat ini, dua tiga gesekan terakhir biolaku merambat sangat cepat, menggertak hati mereka, mencerahkan suasana pagi yang mendung ini. Aku membungkuk, meniru gaya-gaya para violinist ketika selesai konser. Tepuk tangan meriah dari tiga orang yang ada di ruangan ini memenuhi ruangan.
Sudah jam tujuh. Pagi itu sama seperti kemarin. Aku berangkat ke kebun sendiri naik otto. Dari jauh sempat kulirik rumah besar kami dari kaca spion. Semakin lama semakin jauh, sampai tertutup pepohonan. Rasanya, aku benar-benar tak bisa lagi memandangnya.