Ruang pengap ini terasa lebih dingin. Angin masuk melalui sela-sela kaca jendela yang berlubang. Di luar, hujan mulai reda. Terdengar obrolan dua tentara Jepang di luar yang tampak gembira. Saling canda tawa. Mereka tidak lagi diam seperti ketika Sukma mengintip dari jendela tadi.
Cerita Gladys terhenti ketika gadis usia empat belasan itu tiba-tiba memegang tangannya, tersenyum sangat lebar. “Waaaah! Kalian mulai jatuh cinta, ya?”
Gladys ikut tertawa, lalu mencubit hidungnya yang pesek. “Kau belum dewasa mana tahu yang seperti itu?”
“Kau juga belum, kan?” Sukma mendelik ke arah Gladys. Dia kembali tertawa. Usianya memang masih delapan belas tahun. Tidak seperti Sukma, wanita berhijab itu, dan dua orang lainnya yang sudah menginjak dua puluhan. Ruang pengap itu lantas pecah oleh tawa kami ber-enam.
“Berarti kau seperti ayahku.” Tiba-tiba saja wanita berhijab itu bicara. Semua mata mengarah padanya. “Ayahku juga punya biola. Katanya hadiah dari gurunya di Kairo.”
“Oh ya? Apa dia pemain biola yang handal?” Gladys antusias. Dia tak menyangka wanita berhijab itu berasal dari keluarga beradab. Ayahnya menuntut ilmu sampai negeri jauh. Pasti dia bukan wanita sembarangan.
“Sampai sekarang aku belum pernah melihatnya main biola. Sejak dua tahun lalu ayahku pulang dari Mesir, biola itu diletakkan di dalam lemarinya. Di simpan baik-baik. Kalau aku tanya kenapa tidak dimainkan. Ayah bilang tidak bisa, mau diberikan ke orang lain yang pandai saja, katanya.”
“Terus-terus?” Gladys bersemangat. Setidaknya gantian siapa yang bercerita. Sejak tadi dia terus.
“Kau mau mengalihkan perhatian, ya?” Sukma tiba-tiba memotong obrolan mereka. Menepuk pundak Gladys sedikit keras. “Kita masih penasaran dengan ceritamu, Gladys. Nanti kalau sudah selesai, baru Habibah yang cerita!”
Oh, namanya Habibah. Gladys membatin. Nama yang cantik.
“Iya! Kau dulu yang cerita sampai kau ditangkap Jepang, baru Mbak Habibah.” salah satu perempuan yang lain menambahkan.
Gladys menghela, mengatur posisi duduk, bersandar ke dinding. Dua matanya menatap sekitar, melihat mereka tampak serius ingin mendengar lanjutannya.
“Ceritaku sudah menginjak akhir. Sebentar lagi gantian, ya?”
***
Ketika siang menampakkan dirinya, mengikis sisa-sisa air hujan kemarin, gempar kebun kami oleh kedatangan tentara Jepang. Mereka datang tanpa permisi, beramai-ramai, menenteng senjata. Siap diarahakan ke para pegawai kebun ini.
“Menyebar!” Suara para tentara Jepang menggema, terdengar lantang dan tegas. Orang-orang menunduk, mengangkat tangan, mematung. Hanya itu yang bisa dilakukan.
Satu dua detik kemudian mereka memorak porandakan kantor, menyulut api, membakar arsip-arsip penting di seluruh ruang staf. Api menyala, menyebar seperti orang menabur dedak, membuyarkan para pegawai seketika itu juga.
Rata-rata mereka menenteng senjata laras panjang. Pegawai, petani, berlarian untuk menyelamatkan diri. Sebagian besar ditodong, disuruh tiarap, hanya segelintir orang yang berhasil lolos, masuk ke dalam gelapnya Hutan Rejo.
Lima tentara berlari ke arah kami, menyebar, mengelilingi kami dari segala sisi, menodongkan senapan. “Hizamazuke!!”
Aku terkejut, tak sengaja biola yang masih kupegang rapat-rapat, terlepas, jatuh tengkulap di atas tanah lembab. Mijan melangkah maju, menyuruhku bersembunyi di belakangnya.