Dari balik lorong gelap yang ada di sebelah kanan ruang depan ini, tiga empat tentara lain beriringan masuk. Masing-masing membawa perempuan sendiri-sendiri, dipaksa untuk memasuki ruangan ini. Gladys dan semua orang di ruang pengap tadi saling pandang dengan alis mengernyit, takut, muncul pikiran yang aneh-aneh. Dan seperti yang diduga. Beberapa perempuan tadi dipaksa melayani para tentara Jepang.
“Ore ga kono kawwaiii nego da!” Seorang tentara mendekat, cepat menarik lengan gadis berusia empat belas tahun itu. Dia menangis bukan main. Menolak, menengok ke arah Gladys seolah meminta pertolongan. Tapi sebesar apapun tenaganya, takkan sanggup melawan cengkraman tentara Jepang. Sukma, dan dua perempuan lain menyusul nasib yang sama. Lalu sisa Gladys dan Habibah yang melangkah mundur ketakutan. Tangan mereka terpaut rapat.
“Lepas kain di kepalamu!” Tentara yang lain, dari arah samping, melompat cepat, menarik jilbab Habibah.
“Jangan!” Habibah mencengkeram teguh kain jilbabnya. Gladys membantu melepas tangan tentara itu. Sayang, dia lalu ditampar sampai jatuh. Kepalanya seperti berputar-putar. Dua matanya penuh bintang. Sambil memegangi pipi yang memerah sakit, dia menyaksikan tentara itu berhasil melepas jilbab Habibah, menampakkan rambutnya yang terurai panjang. Habibah menangis bukan kepalang. Tangannya diseret-seret, dipaksa duduk bersanding dengan tentara itu.
Gladys berusaha berdiri, lalu seorang tentara berjalan mabuk, mendekat, wajahnya memerah, tertawa liar, air liurnya menetes seperti anjing. “Sini kau gadis cantik!” katanya. Gladys menghindar, melompat menjauh, sayang tentara itu jauh lebih gesit, langsung menangkap Gladys, mendekapnya dari belakang.
“Malam ini kau milikku!”
“Jangan!!” Gladys menjerit. Tak bisa bergerak, sepintas dia melihat seorang tentara di sana sedang membawa biola. Itu biolanya! Sedang dimain-mainkan dengan kacau. Tiba-tiba saja terlintas ide untuk menjauh dari tentara mabuk ini.
“Aku bisa main biola!” Gladys berteriak. Suaranya lantang merambat ke seluruh ruangan ini. “Aku bisa main biola!” teriaknya lagi. Semua orang menoleh ke arah Gladys.
“Lepaskan aku! Aku bisa menghibur kalian dengan biola.”
“Tidak! Kau sudah kupesan!” Tentara itu masih mendekap Gladys rapat-rapat.
“Di sini tidak ada musik! Aku bisa menjadi hiburan kalian!”
Dua tiga detik diam, seorang tentara gemuk, tua, seperti pemimpin mereka, melangkah ke arah Gladys. “Lepaskan dia!” perintahnya. Tanpa menunggu, tentara itu melepas tangannya. Gladys bebas. Lega terlepas dari niat busuk tentara itu.
“Kau benar-benar bisa main biola?”
Gladys mengangguk. Menunduk tak berani menatap sorot tajam pria gemuk itu. “Yang dibawa anak buahmu itu adalah biolaku.”
“Kalau begitu, hibur kami!”
***
Memang benar Gladys lolos dari jerat tentara mabuk tadi. Namun ketika dia berada di depan, hendak memainkan biolanya, sungguh tragis dia menyaksikan Sukma, Habibah, dan teman-teman barunya menjadi budak nafsu para tentara Jepang. Apalagi gadis yang masih dibawah umur itu. Dipaksa minum, sampai memerah wajahnya, dipaksa mengurai rambutnya.
Gladys berdiri di depan dengan kaki gemetar. Menggesek biola memainkan Waarom Treur Je Zo Mijn Liefste. Nada mengalun pilu, jatuh perih ke telinga mereka layaknya air mata Gladys yang mengalir membasahi badan biola. Dia memejamkan mata, tak kuat melihat kelakuan para tentara Jepang. Kalaupun bisa, dia ingin menutup semua telinganya agar tidak mendengar jeritan-jeritan takut mereka. Sungguh ini malam yang menyeramkan.