Aku tidak peduli orang mengatakan aku jalang, aku cuma berusaha untuk apa adanya, aku tidak ingin dibilang perempuan munafik. Aku juga tahu kalau perempuan itu harus bisa menjaga kehormatannya, tapi apa orang tahu apa yang aku derita?
Namaku Gadis, sekalipun aku tidak gadis lagi. Tapi tetap saja aku dipanggil Gadis. Tidak ada yang perlu aku ceritakan tentang masa laluku, kenapa aku tidak gadis lagi, karena itu memang tidak penting.
Kalaupun aku ceritakan pasti ada orang lain yang akan malu, dan hal itulah yang tidak aku mau. Bukan aku tidak mau membuka aibku, tapi aibku menyangkut juga aib orang lain.
Siang itu aku dan Rasta nongkrong di sebuah cafe, Rasta adalah teman seprofesi aku, yang memang sangat dekat dengan aku. Kami tidak pacaran, Rasta adalah teman yang sangat mengerti aku.
Di luar dugaanku Rasta mengungkapkan perasaannya, "Dis.. aku ingin menikahi kamu." ujar Rasta tiba-tiba
"Atas dasar apa?" aku tanya Rasta, "kamu kan belum kenal aku Ras, meskipun kamu mengerti aku."
Rasta hanya diam dan menatap serius ke arah kedua bola mataku,
"Tapi aku serius Dis, memang aku gak akan mengatakan atas nama cinta, karena itu kuno dis." ucap Rasta
"Lantas atas nama apa kamu mau menikahi aku!!?" Aku menegaskan
"Atas dasar kepercayaan Dis, aku yakin kamu bisa menjadi istri yang baik." ucap Rasta dengan sangat yakin
"Udahlah Ras, aku lebih suka status pertemanan dari pada ikatan perkawinan."
"Dis umur kita tidak muda lagi, kita sudah hampir kepala tiga Dis, mau sampe kapan kita begini?"
"Sampai Tuhan menentukannya Ras.." ucapku
"Dis.. asal kamu tahu aja ya, aku pilih kamu itu sudah bermunajat pada Tuhan, dan petunjuknya mengatakan bahwa kamulah calon istriku."