Aku tidak ingin berprasangka buruk pada Tuhan, karena aku tahu rencana Tuhan selalu baik, semua tergantung aku kuat atau tidak menghadapi berbagai ujiannya. Mungkin Tuhan ingin agar aku lebih kuat, karena DIA sudah mempersiapkan hal yang terbaik bagi aku.
Berbagai kesialan yang aku terima, adalah bagian dari ujian Tuhan, dan aku harus ikhlas menerimanya. Petaka demi petaka yang aku hadapi, tidak terlepas dari rencana Tuhan. Seperti itu aku yakini, tapi pada kenyataannya, kadang aku tidak siap menghadapinya.
Suatu hari aku satu frame dengan pemain yang naksir Prastowo, dalam adegan yang kami perankan bertiga, aku, Prastowo, dan pemain itu, ceritanya aku memergoki perselingkuhannya dengan suamiku, yakni Prastowo. Dia tidak terima, dan dia menamparku.
Harusnya dia menampar tidak sungguh-sungguh, karena sudah bisa diatasi dengan trik kamera, tapi rupanya kesempatan itu dimanfaatkannya untuk melampiaskan kecemburuannya sama aku, dan aku di gampar dengan sungguh-sungguh, sakitnya luar biasa,
"Kok namparnya sungguh-sungguh?" Tanyaku saat itu
"Sorry.., aku harus akting secara total, jadi aku harus lakukan itu." Jawabnya
Aku berharap sutradara akan membelaku, tapi ternyata tidak. Sutradara tidak komentar sama sekali, hanya Prastowo yang membelaku.
"Kita ini sedang melakoni sebuah peran, bukanlah kejadian nyata.., jadi apa pun yang kita lakukan, harusnya tidak sungguh-sungguh." Ujar Prastowo
"Kamu kok bela dia? Emang dia pacar kamu?" Kata pemain itu
"Aku bukan bela dia, tapi aku tidak suka dengan perilaku yang salah, yang kamu lakukan itu adalah delik penganiayaan." Bela Prastowo
Aku minta shooting dihentikan terlebih dahulu, karena pipi aku merah bekas tamparannya. Namun sutradara punya cara lain, dia ingin make up touch up bekas merah yang ada di pipiku, alasannya memburu waktu. Sedikit pun dia tidak menegur pemain tersebut.
Team make up berhasil mengatasi bekas tamparan di pipi aku, dan shooting dilanjutkan. Pemain itu di wanti-wanti oleh sutradara, agar tidak melakukan sesuatu di luar skenario.
"Kita ini shooting, hanya mengadegankan sesuatu, yang tidak perlu dilakukan dengan real, tolong kontrol diri masing-masing." Pesan sutradara.
Sementara aku masih merasakan sakitnya bekas tamparan tersebut. Untungnya adegan itu tidak di ulang lagi, karena dianggap sudah bagus.
Insiden itu rupanya sampai ketelinga produser, dan itu aku ketahui setelah aku bertemu langsung dengan produser di kantor, saat aku di panggil ke kantor. Aku sangat cemas saat dia panggil ke kantor, aku takut dianggap melakukan kesalahan di lokasi.
Aku pergi ke kantor saat scene-scene untuk Aku memang sudah habis, dan aku diantar oleh pimpinan produksi. Hatiku sangat cemas saat menghadap produser, pikiranku berkecamuk, aku takut tidal dipakai lagi di production house itu.
"Kamu biasa di panggil Gadis ya?" Tanya produser
"Ya pak, itu memang nama panggilan saya..," jawabku saat itu dengan gugup