TAK ada yang tahu, di bawah terang bulan purnama, di antara samudra bintang menggelora, dan suara-suara jangkrik yang lalu-lalang, di atas atap sebuah rumah toko seorang perempuan tengah hanyut dalam kanvas, kuas, dan warna-warna. Pada bibirnya terlukis senyum, sedang tangannya lincah arungi semesta.
Dia bersenandung senada dengan polesan cat-cat minyak berwarna biru gelap. Tak hirau betapa dingin udara berembus, meski sesekali napasnya rupa kepulan asap tipis, Rani terus melukis.
“Rani, sudah terlalu malam, cepatlah masuk. Di sini sangat dingin,” pinta Wulan.
"Ya, sebentar lagi."
Kini geraknya memelan, tentu saja bibirnya masih tersungging lebar-lebar. Dia masih bersenang-senang, bersenggama bersama khayalan dan polesan.
Entah siapa yang berseru memanggilnya tadi, dia tidak tahu dan tidak sadar akan hal itu. Mulutnya memberikan jawaban sendiri, sedang seluruh sel-sel di tubuhnya terus asik menggerayangi sisi-sisi kanvas.
Tiada yang mampu memberikan titah di dalam istana kanvasnya. Dia adalah ratu, penguasa tertinggi dari kanvas-kanvas putih, bermenteri kuas, dan berprajurit warna-warna. Ya, di saat seperti ini Rani tidak bisa diganggu. Alasannya adalah ... di balik malam berawan mendung selepas hujan itu, ternyata bulan sedang ingin menunjukkan jatinya dan bintang pula tidak ingin dikalahkan sinarnya. Semesta yang tidak bisa begitu saja Rani lewatkan.
Namun bukan pasal langit yang kini bertabur bintang-bintang atau damainya malam atau mendung yang baru saja pergi. Ini bukanlah kisah tentang apa yang terlihat oleh mata. Ini tentang rasa, tentang sedih, sedu, dan pilu yang turun dengan ganas oleh hujan deras barusan, kemudian berubah menjadi romansa yang paling indah.
Memang begitulah Rani dan tingkah lakunya yang sulit dipahami. Seperti sekarang, kala malam sedang dingin-dinginnya, saat orang-orang sedang mengurung diri di bawah selimut tebal sembari menikmati secangkir cokelat panas, Rani malah memilih duduk di atas atap hanya untuk melukis perasaan semesta.
Lihat, lihatlah dia, Kawanku, Rani bak maestro yang asik memimpin orkestranya sendiri. Lihai tangannya laksana pengiring setiap nada yang keluar. Nada-nada dari para pianis, harpis, dan musisi-musisi lainnya. Mereka saling menyambut satu tempo gerak tangan Rani. Jika saja bukan karena udara dingin itu, tentu Wulan sudah ambil bagian menjadi violinis, kemudian ikut serta dalam ketukan demi ketukan, arahan demi arahan, dan pada seluruh nada yang diinginkan Rani.
Beberapa saat kemudian tangan Rani mendadak berhenti. Ditatapnya langit dengan mata mengernyit, lalu dia memejam. Dia hirup dalam-dalam udara yang semakin dingin, lalu matanya terbelalak.
“Wulan, tolong aku!” sahut Rani.
“Sudah selesai?” tanya Wulan menghampiri sambil mendekap badannya sendiri.
“Belum.”
“Lalu?”