GADIS BULAN

Teguh D. Satrio
Chapter #2

BAB 1

TAK ada yang tahu, di bawah terang bulan purnama, di antara samudra bintang menggelora, dan suara-suara jangkrik yang lalu-lalang, di atas atap sebuah rumah toko seorang perempuan tengah hanyut dalam kanvas, kuas, dan warna-warna. Pada bibirnya terlukis senyum, sedang tangannya lincah arungi semesta.

Dia bersenandung senada dengan polesan cat-cat minyak berwarna biru gelap. Tak hirau betapa dingin udara berembus, meski sesekali napasnya rupa kepulan asap tipis, Rani terus melukis.

“Rani, sudah terlalu malam, cepatlah masuk. Di sini sangat dingin,” pinta Wulan.

"Ya, sebentar lagi."

Kini geraknya memelan, tentu saja bibirnya masih tersungging lebar-lebar. Dia masih bersenang-senang, bersenggama bersama khayalan dan polesan.

Entah siapa yang berseru memanggilnya tadi, dia tidak tahu dan tidak sadar akan hal itu. Mulutnya memberikan jawaban sendiri, sedang seluruh sel-sel di tubuhnya terus asik menggerayangi sisi-sisi kanvas.

Tiada yang mampu memberikan titah di dalam istana kanvasnya. Dia adalah ratu, penguasa tertinggi dari kanvas-kanvas putih, bermenteri kuas, dan berprajurit warna-warna. Di saat seperti ini Rani tidak bisa diganggu.

Alasannya adalah ... di balik malam berawan mendung selepas hujan, ternyata bulan sedang ingin menunjukkan jatinya dan bintang pula tidak ingin dikalahkan sinarnya. Semesta yang tidak bisa begitu saja Rani lewatkan.

Namun bukan pasal langit yang kini bertabur bintang-bintang atau damainya malam atau mendung yang baru saja pergi itu.

Ini tentang rasa, tentang sedih, sedu, dan pilu yang turun dengan ganas oleh hujan deras barusan, kemudian mendadak berubah jadi romansa paling indah yang mampu mengukir senyum paling manis pada wajah gadis-gadis bumi. Jarang ada, langit bagai penghibur ulung bagi insan yang merana.

Rani dan tingkah lakunya bukan hal asing lagi buat Wulan. Seperti sekarang, kala malam sedang dingin-dinginnya, saat orang-orang mengurung diri di bawah selimut tebal, Rani memilih duduk di atas atap hanya untuk melukis.

Lihatlah, Rani bak maestro yang asik memimpin orkestranya sendiri. Lihai tangannya laksana pengiring setiap nada yang keluar. Nada-nada dari para pianis, harpis, dan musisi-musisi lainnya. Mereka saling menyambut satu tempo gerak tangan Rani.

Jika bukan karena dingin, mungkin Wulan sudah ambil bagian menjadi violinis, ikut serta dalam ketukan demi ketukan, arahan demi arahan, dan pada seluruh nada yang diinginkan.

Beberapa saat kemudian tangan Rani mendadak berhenti. Ditatapnya langit dengan mata mengernyit, lalu dia memejam. Angin semakin dingin. Lalu dia hirup dalam-dalam udara sekitar bagai napas terakhir, lalu dia nikmati setiap partikel bumi yang menggoda yang membuat hatinya menjerit bahagia. Lalu matanya terbelalak.

“Wulan, tolong aku!” sahut Rani.

“Sudah selesai?” tanya Wulan menghampiri sambil mendekap badannya sendiri.

Lihat selengkapnya