LANGIT terhuyung-huyung sebab ombak laut menghantam kapal para penyintas samudra. Seorang pemuda berdiri di tepian, menghayati hembusan angin menyisir riak-riak laut tengah malam. Dia memejam kemudian menikmati nyanyian purnama. Tatkala matanya terbuka, terpana dia pada kirana bulan jelita.
Ada pula beberapa pasang kekasih di sana saling memeluk mesra, ada para paruh baya, ada wanita-wanita hamil dan wanita-wanita menyusui, ada anak-anak saling berkejar-kerjaran tidak takut jatuh ke dasar lautan, termasuk pula sang kapten dan para awaknya, semua terlena oleh terang sang bulan.
Seketika jantung pemuda itu menjadi berdebar-debar sebab harap-harap kebebasan semakin menggugah, membuat angannya tidak sabar menanti akhir dari perjalanan. Lekas dia keluarkan sebuah buku dan sebuah pensil dari dalam tas punggungnya. Lalu pemuda itu mulai melukis, menaruh semesta ke atas kertas putih.
Lihai tangannya memanggil langit berbintang menjelma dua dimensi di atas kertas, meliuk santun pada purnama bulat sempurna. Pensilnya terus berlayar, tiada ujung tak berpangkal. Seorang gadis kecil berpiyama kemudian muncul di tengah-tengah kertas, terangkat oleh balon hidrogen melewati lembah awan gempal bagai tumpukan permen kapas.
Selepasnya dia pampang lukisannya, tepat di hadapan wajahnya, dan mata menyusuri goresan-goresan tipis ciptaannya sendiri. Namun senyum seketika pudar, jantungnya seakan berhenti berdetak.
Gadis yang menjelma di atas kertas putihnya, gadis dengan balon terbang dan segala kaskaya langit malam itu, tidak berwajah. Kini rasa takut kembali hinggap di kepala, kemudian masuk menembus ingatan, kemudian tertancap jauh ke dalam hati.
Dia terlalu terbawa suasana, sekonyong-konyong menciptakan sketsa yang justru menampakkan mimpi buruk yang nyaris terlupakan. Seharusnya dia tahu, sudah sejak lama dia tidak dapat memunculkan wajah pada lukisannya, bahkan walau hanya seutas garis lengkung senyuman.
Satu tarik napas lalu terembus, pelan-pelan dia ambil kendali diri. Pemuda itu menengadah, kembali mencoba menyaksikan samudra bintang yang tak kunjung hilang. Lalu senyumnya kembali merekah dan menyapu kesedihan yang tak diundang itu.
Dia teguhkan diri, meyakini bahwa pelariannya tidaklah sia-sia, adalah demi mencari jati wajah yang telah lama menghilang, adalah kebebasan yang dia inginkan.
“Bulan telah memilih keturunan.”
Pemuda itu terkejut, seorang pria tua berjaket cokelat tebal dan bertopi kusam berada di sampingnya, berdiri tegap tidak tahu sejak kapan. Sepatunya lusuh, berlubang di beberapa bagian, beberapa bagian lagi bekas ditambal. Wajah pria tua itu pula, berjenggot putih, berkumis putih, pun jambang yang mencuat dari balik topinya. Lalu di antara bibir-bibirnya terapit rokok kretek yang sedang menyala.
“Bulan telah memilih keturunan,” ulang pria tua itu. Selepasnya dia diam saja hingga bermenit-menit kemudian, kembali tiada suara selain desir ombak yang menghantam tubuh kapal dengan perlahan. Hingga akhirnya pria tua itu kembali angkat suara, “Kau menyukainya?”