DI pucuk semesta telah membentang sinar terang sang surya, namun cahayanya menjadi sorot-sorot bias sesampainya dia di wajah bumi sebab awan-gemawan putih yang sedang bergumul di atas langit sana telah menjadi payung peneduh itu sendiri. Semestinya sudah tergambarkanlah betapa santun cuaca di pantai itu, tidak panas dan tidak mendung, dan tidak pula akan membuat kulit menjadi hitam legam semacam arang.
Di tengah-tengah pantai itu terdapat satu tugu menjulang yang sampai kini masih menjadi bahan penasaran, ialah tugu merpati. Memang benar para pendatang sering dibuat terkagum-kagum, namun penduduk sekitar masih kerap bertanya-tanya, apakah kepentingan daripada tugu merpati itu? Sebab dari ujung ke ujung pantai tiada pernah ditemukan sehelai pun bulu merpati.
Lagi pula satwa yang paling tersohor dan sering ditemukan berkeliaran semena-mena di pantai itu adalah makhluk-makhluk berambut gondrong dan gimbal, wajah yang tak ubahnya ladang jerawat mematikan, terkadang bisul pun ikut-ikutan, mereka pula senang sekali membuang puntung rokok sembarangan, dan mereka menyebut diri mereka sendiri adalah seorang seniman lukis.
Maka, mengapa tidak rupa salah seorang dari mereka saja yang dijadikan tugu bagi pantai itu? Mengapa harus merpati? Bahkan para merpati pun enggan berindukkan beton.
Adapun nama daripada pantai itu sendiri ialah Pantai Senja. Sudah pasti bukan nama yang diambil dari sembarangan tempat, tidak macam si tugu merpati. Diberi nama demikian lantaran hanya di sanalah senja paling terhormat kerap berkunjung. Terlebih lagi di belakang pantai itu, yaitu di hadapan sang senja, jauh di balik pohon-pohon cemara, berdiri sebuah bukit yang konon disebut-sebut sebagai tempat matahari hendak terbit, yaitu Bukit Fajar.
###
PEMUDA itu, dia yang bernama Bintang, melangkah menyisir gemuruh dari ombak-ombak yang berhamburan. Sesekali dia memejamkan mata, menghirup aroma asin dari air laut yang terembuskan angin-angin pantai. Kemudian dia membuka mata dan tak kuasa dia menahan bahagia tatkala menyaksikan bentang keindahan milik semesta, tak serupa dengan kota tempatnya berinjak hingga pada tempo hari.
Perkara cerita terkait malam tadi yang teringat hanyalah perjumpaannya dengan seorang pria tua, kemudian dia tidak ingat apa-apa, tidak peduli seberapa keras dia telah mencoba. Dan kini dia enggan lagi memikirkan, terutama selepas matanya menelanjangi buana. Hamparan kekayaan semesta seketika merasuki laksana sebuah mimpi.
Berlari pemuda itu kemudian, sekali lagi menyisir gemuruh dari ombak-ombak yang berhamburan, menuju kepada satu entitas yang paling eksentrik di pantai itu, adalah sebuah tugu menjulang perwujudan daripada seekor merpati putih nan besar. Semakin dia terpesona sesampainya dia di sana sebab puluhan manusia telah duduk rapi mengelilingi sang tugu sembari menatapi kanvas mereka sendiri-sendiri. Itulah mereka, para pelukis dari Pantai Senja, yaitu makhluk-makhluk sekaum dirinya pula.
"Bung!"
Tiba-tiba seseorang menghampiri. Serupa dengan manusia lainnya yang sedang mengelilingi sang merpati, pun lelaki itu berambut gondrong, adalah satu identitas yang paling khas bagi para pelukis di sana. Adapun pembedanya: pertama, dialah yang paling gondrong di antara para gondrong lainnya, kedua, kumisnya sudah serupa sungut ikan lele, ketiga, bibirnya tebal dan meronta-ronta, dan keempat, di tangan kanannya tiada jari telunjuk.
"Ya, ada apa?" tanya Bintang.
"Apakah wajahmu ingin dilukis?" tawar lelaki gondrong itu kemudian.
"Tidak perlu, terima kasih."
"Sayang sekali, Bung, padahal wajahmu sangatlah tampan. Sungguh pantas menjadi seorang model lukisan."
Layaknya seorang pedagang handal, lelaki gondrong itu tersenyum sehingga kumis lelenya jadi terjepit oleh bibir tebal yang nyaris menyentuh hidung. Dan andaikan saja lelaki gondrong itu ialah seorang perempuan, tak terpungkiri lagi Bintang akan dibuat tersipu malu kemudian dia akan menyetujui tawaran itu. Sayang seribu kali sayang, yang memuji berwajah garang.
"Tidak apa-apa, tidak perlu. Terima kasih sekali lagi."
"Tidak perlu risau, Bung. Lihatlah orang-orang ini." Lelaki gondrong itu membentangkan tangannya ke arah para pelukis lainnya kemudian dia menjelaskan, "Betapa indah lukisan-lukisan mereka, namun satu hal yang mesti kau tahu. Di sini, di kota ini, akulah pelukis yang paling di kenal. Bagaimana, apakah sekarang kau sudah tertarik?"
"Ti⸺"
"Beruntungnya dirimu sebab hargaku cukup murah. Seratus untuk sketsa wajah, dua ratus bila ingin berwarna. Kau ingin memilih yang mana, Bung?"
"Tapi⸺"
"Kemarilah dahulu, Bung." Lelaki gondrong itu merangkul pundak Bintang dan menggiring Bintang pula menuju lapak lukisannya. Dia ambil sebuah bangku kayu bundar lalu mendudukkan Bintang dengan paksa. Dia keluarkan sebuah termos air beserta sebuah cangkir plastik dari dalam ranselnya, menyusul sekantong kopi kemasan yang dia seduh kemudian. "Silahkan diminum kopi ini, Bung."
"Tapi⸺"
"Tidak apa-apa, Bung, tidak apa-apa. Kopi itu adalah suatu bentuk pelayanan dariku," tambahnya sembari duduk tepat di hadapan Bintang. Kemudian dia keluarkan pula sebuah buku sketsa berukuran A4 beserta pensil dan pelengkapnya. Kemudian dia tatap Bintang dalam-dalam, dan kemudian barulah dia mulai melukis.
"Abang, saya⸺"
"Tidak apa-apa, Bung, tidak apa-apa. Tidak perlu menjadi sungkan," ucap lelaki gondrong itu lagi.