PADA masa yang dahulu, pernah satu kali orang-orang dibuat gempar lantaran sinar bulan mendadak hilang dari langit tengah malam. Tidak ada seorang pun yang tahu mengapa dan tiada berani mengartikan sebab masyarakat di desa itu menggenggam teguh suatu hukum keyakinan, adalah suatu nista yang tidak terampuni jikalau mengarang-ngarang kehendak Tuhan.
Namun seorang pemabuk tetaplah seorang pemabuk. Tanpa menghiraukan hukum yang terpandang, dengan riang gembira dia berlari-lari, pergi ke sana dan ke mari sambil menggendong seorang bayi perempuan, sambil pula dia berseru-seru, "Sang bulan! Sang bulan! Aku membawa sang bulan!"
Dari rumah ke rumah, kepada tiap-tiap orang dia berjumpa, dia ceritakan hikayat pertemuannya dengan sang bulan. Adalah ketika dia sedang bermabuk-mabukan di tepian pantai hanya dengan seorang diri, dia telah menjadi saksi daripada karamnya rembulan. Awal disangka salah melihat lantaran sudah mabuk berat. Namun tidak lama berselang, dibawa oleh silir-semilir ombak-ombak yang datang, berlabuhlah seorang bayi perempuan berselimutkan cahaya temaram. Sehingga si pemabuk jadi meyakini bahwa si bayi perempuan ialah rembulan itu sendiri.
Tak ayal kabar tersebut menjadi cepat tersiar. Bukan, bukan kabar soal perjumpaan seorang pemabuk dengan rembulan yang semestinya sedang menghilang. Tapi kabar tentang seorang pemabuk yang telah menjadi nista, telah menjadi sesat, ialah pembawa bencana kepada masyarakat. Sehingga, serupa dengan nasib banyak penista, yaitu dikhatamkan hidupnya seketika, maka serupa itu pulalah nasib si pemabuk itu.
Adapun si bayi perempuan, dia dirawat oleh seorang janda kaya namun amat masyhur nan dermawan. Bayi perempuan itu kemudian diberi nama Nurwulan yang berarti cahaya rembulan. Meski tiada seorang pun yang memercayai hikayat si pemabuk, adalah sebuah harapan di hati seluruh orang. Harapan bahwa si bayi perempuan sungguh-sungguh anak yang terkandung dari rahim Maharani, yaitu sang dewi bulan, seperti yang terkisah pada suatu cerita rakyat di sana.
Dan benar saja, ketika si bayi perempuan telah menjadi seorang dewasa, rupanya dia telah membawa keelokan hati yang maha menakjubkan, adalah pelindung dari setiap kemalangan, adalah persis seperti yang terkisahkan itu, sehingga perbuatannya amat dikenang-kenang dan tiada ingin dihilangkan. Sehingga, pada zaman yang akan datang, ketika desa mereka telah berubah menjadi suatu kota madya oleh para muda-muda, kota itu kemudian diberi nama yang sama, ialah Kota Nurwulan.
###
DI sepanjang telusuran dari suatu pasar yang bernama Pasar Tengah, berjalanlah dua pria paruh baya dengan lagak jemawa. Salah seorang dari mereka berperut besar, bertubuh pendek, berjenggot 6 helai saja, berwajah sangar sebab sebuah luka yang membekas di batang hidungnya, berkulit sawo matang, dan berkepala plontos. Orang-orang memanggilnya dengan sebutan Si Botak atau Abang Botak, meskipun dia bernama asli Subrani Saipul.
Sesungguhnya dia tidak seberani namanya itu, hanya saja memang banyak yang takut kepadanya lantaran dia berkawankan Mahmudin, yaitu seseorang yang sedang mengikutinya kini, yang kalau sudah ingin berkelahi seperti sudah siap ingin mati. Mahmudin sendiri bertubuh tinggi dan berotot-otot, berambut panjang, berkulit sematang-matangnya buah sawo, dan kalau disimpulkan dia berwujud seperti hantu genderuwo.
Adapun pekerjaan mereka berdua ialah penjaga keamanan di Pasar Tengah, alias tukang palak.
"Komaaaarr," sahut Si Botak sesampainya dia di lapak semangka.
"Komaaaarr," sahut Mahmudin pula.
Si pelapak semangka, ialah Komar, yang tadinya sedang berwajah gembira sebab asik berkhayal cinta-cintaan dengan Siti si bunga pasar, langsung terperanjat. Dilihatnya kemudian Si Botak sudah berdiri di depan lapaknya sambil meraba-raba salah satu buah semangka. Kemudian dilihatnya pula Mahmudin yang ikut-ikutan meraba-raba buah semangka yang lain.