GADIS BULAN

Teguh D. Satrio
Chapter #7

BAB 6

ADA alasan soal mengapa kebanyakan penduduk di Kota Nurwulan sangat menyenangi lukisan, ialah sebab kota mereka sangat indah dan memukau. Sebab pula, indah dan memukau itu hendaknya bisa menjadi sumber uang. Sehingga kesukaan mereka kepada lukisan bisa berartikan kesukaan mereka kepada uang.

Walau semakin ke sini semakin berkurang pula nilai daripada kesukaan itu⸺maksudnya hanya kepada lukisan, sedang kesukaan kepada uang tetap menjadi panorama yang paling istimewa ⸺lantaran semakin maju dan murahnya teknologi sehingga berswafoto menggunakan ponsel canggih telah menjadi suatu pengganti dari suatu lukisan diri sendiri. Namun simaklah sebentar kisah ini.

Sudah sejak lama Kota Nurwulan sering dikunjungi oleh orang-orang pendatang. Ada yang sekadar ingin berlibur, ada yang ingin menghabiskan masa pensiun, dan ada banyak yang ingin menjadi pedagang. Mengapa tidak, berdagang adalah satu pekerjaan yang paling diminati di daerah-daerah pariwisata. Terlebih membeli barang kenangan adalah kegiatan yang paling dicintai oleh banyak pelancong berduit.

Mencari waktu dan tempat yang tepat ialah satu kepandaian terpenting yang harus dimiliki di dalam jiwa seorang pedagang, dan kepandaian itu, sayangnya, tidak dimiliki oleh para penduduk asli. Lantaran mereka terlalu sibuk berbesar hati terhadap kota sendiri, bahwa kota mereka adalah kota yang paling indah seantero bumi, mereka jadi lupa kalau di masa yang akan datang, prestasi tersebut tidaklah lebih penting daripada uang. Dan ketika masa itu telah datang rupanya, terlambat, adalah satu kata yang paling akurat. Sebab pedagang-pedagang yang bermula sebagai para pendatang itu, telah jauh berkembang.

Namun pada suatu ketika, seseorang yang bernama Gundala, berjalan pulang membawa sekantong uang. Seseorang yang bernama Gundala ini amat terkenal di masyarakat akan kemalangannya. Dia dari lahir sudah tak berbapak dan tak beribu. Tiada yang tahu siapa bapaknya, tiada pula yang tahu siapa ibunya. Dia anak yang tidak disangka-sangka, tahu-tahu sudah lahir saja. Dia kemudian dirawat oleh seorang perempuan yang memang senang merawat anak-anak yatim dan piatu di kota itu.

Sedari kecil Gundala sudah menjadi seorang pendiam, pematuh, mau disuruh-suruh, tapi juga pemalu lantaran tidak punya bapak dan ibu. Walau kawan-kawannya memang banyak yang sudah menjadi yatim dan piatu, namun kemaluannya dikarenakan dia menjadi yatim dan piatu tanpa sebab dan akibat, dan kemalangan inilah yang membuat dia menjadi senang melukis, adalah suatu bentuk penghiburan bagi dirinya.

Singkat kisah, ketika Gundala telah berumur remaja, pergilah dia berjalan-jalan ke Pantai Senja, ingin melukiskan matahari yang hendak berpulang. Pada tengah hari dia sudah mulai beranjak meninggalkan rumah asuh bersama sebuah kanvas berukuran sebesar badan. Tidak lama dia telah sampai dan matahari rupanya masih lama akan terbenam. Mengakibatkan dia hanya bisa duduk sambil termenung-menung, menunggu maksud hatinya kepada tujuan.

Lalu seorang pelancong tua, berambut uban di sekujur tubuhnya yang bertelanjang dada, datang menghampiri. Menduga Gundala adalah seorang pedagang jasa melukis, kemudian dimintainya Gundala membuat sebuah lukisan potret dirinya dengan berlatarkan samudra raya. Lantaran, seperti yang sudah terucap, bahwa Gundala adalah seorang pematuh yang mau disuruh-suruh, terlebih dia pula selalu diajarkan untuk menghormati seseorang yang jauh lebih tua, maka dia turuti pinta si pelancong tua itu.

Gundala, dia ambil pensil, dia pampang kavasnya, dia awali dengan sketsa, yaitu gambaran kasar sebelum diwarnai. Namun Gundala bisa dikata berjiwa perfeksionis sehingga sketsa yang semestinya hanya terisi oleh arsiran-arsiran yang belumlah jelas maksud dan tujuan, justru dia berlaku dengan amat rinci dan pelan-pelan. Sehingga, membutuhkan waktu yang lama dan gelap pun datang.

"Bagaimana ini, Adik? Sudah malam. Haruskah kita lanjutkan besok?"

"Tidak perlu, Abang. Saya sudah selesai melukiskannya dengan pensil, tinggal diwarnai saja lagi."

Lihat selengkapnya