GADIS BULAN

Teguh D. Satrio
Chapter #8

BAB 7

PENGHUJUNG hari sudah semestinya indah dan semakin berjayalah dia jika berada di Pantai Senja. Lihat, langit biru berubah warna, menular kepada samudra, menjadi oranye yang terbentang hingga ke ujung dunia. Lihat, pawai udara dari para imigran yaitu burung-burung terbang memberi satu pesona tersendiri yang mampu menyenangkan hati. Lihat, para nelayan bersahut-sahutan sambil membawa jaring, sambil mendorong sampan, lalu pergi meninggalkan daratan. Di sisi lain, para peselancar sudah usai berselancar, para pedagang pun sudah usai berdagang, bahkan para pelancong sudah mulai berpulang, kembali ke permalaman mereka sendiri-sendiri. Namun para pelukis masih tetap ingin melukis, ialah makhluk-makhluk perusak pemandangan, pengacau ritual di penghujung hari.

"Selesai."

Rani melepas pengikat rambutnya dan pensil terselip di sela-sela telinga, dan Bintang tidak kunjung menutup mulutnya. Dia ternganga dengan sangat lebar sudah sejak awal Rani datang. Semakin lebar lagi sebab rambut Rani tergerai-gerai ditiup angin. Cantik, anggun, dan menawan. Sehingga kenikmatan terhadap semesta telah menjadi sirna dan mimpi-mimpinya pada kebebasan telah dilupakan. Sebab matanya hanya ingin tertuju kepada seorang perempuan, Rani, dan tidak mau ke lain hal.

"Silahkan."

Rani memberikan buku itu kepada Bintang, yaitu buku sketsa yang seharusnya sudah berisikan gambar wajah Bintang. Namun, lantaran Bintang tidak juga sadar-sadar, si lelaki gondrong⸺berikut akan kupanggil Si Gondrong saja sebab memang begitulah orang-orang memanggilnya⸺yang baru saja bangun dari pingsan langsung menggamparnya dari belakang, sambil dia berkata, "Kurang ajar!"

Tanpa ampun kemudian Rani menatap Si Gondrong. "Berlakulah dengan sopan, Drong. Bukankah dia adalah pelangganmu?"

"Pelanggan atau bukan, kelakuannya sudah berlebihan, Ketua!"

Lantaran dilahap oleh rasa cemburu sehingga dengan tanpa sadar dia jadi membentak pemimpinnya sendiri. Tak ambil tempo, Rani langsung tegak badan, berjalan mendekati Si Gondrong yang gelagapan.

"Ketua, berhenti! Setop! Dia melecehkanmu, Ketua. Aku hendak melindungimu. Tolong, Ketua, berhenti!"

Lagi, tendangan memutar kembali melayang tepat menuju wajah di sebelah kanan. Si Gondrong jatuh pingsan untuk kedua kalinya. Umpama pertandingan tinju, Si Gondrong sudah K.O. dengan sangat tidak elegan alias pecundang.

Adapun Bintang selepas digampar oleh Si Gondrong barusan, dia memang sudah langsung sadar, sudah pula tertutup mulutnya yang terbuka lebar itu. Namun kini dia jadi menunduk-nunduk, hendak menyembunyikan wajah yang sudah tertangkap basah jatuh cinta. Jiwa muda!

"Ini, lihatlah terlebih dahulu," ucap Rani yang sudah berada di sampingnya. "Jika tidak berkenan di hatimu, katakan saja. Nanti akan kuperbaiki kembali."

"Tidak usah. Tidak perlu."

Diambilnya buku itu dari tangan Rani, masih sambil menunduk-nunduk, dan tanpa sengaja tangan mereka saling bersentuhan. Sekonyong-konyong darah tersirap, naik hingga berkumpul di kepala, sampai rasanya ingin segera meletus. Lalu Bintang, dia ambil buku itu cepat-cepat dan dia tutupi wajahnya yang semakin berwarna merah merona. Istilah kata, malu-malu kucing. Ya, memang begitulah lelaki jika sudah jatuh cinta, apalagi cintanya adalah cinta yang pertama. Bahkan mereka akan bertingkah lebih perempuan dari para perempuan itu sendiri. Sungguh, jiwa muda!

"Terserah padamu," tutup Rani sambil kembali kepada tempat duduknya semula. Selepasnya dia keluarkan sebuah kanvas yang masih tertutup kain hitam. Menyusul kemudian sebuah penyangga lukisan. Lalu dia singkap kain hitam itu, maka mulailah Rani melukis, melanjutkan lukisannya yang tidak selesai malam tadi.

Agak lama kemudian Bintang mencuri intip. Sesudah memastikan tiada orang yang akan melihat dirinya tersipu malu, barulah dia memandang hasil daripada lukisan wajahnya itu. Dan begitulah Bintang menjadi terpesona untuk yang kesekian kali, namun kini kepada dirinya sendiri yang terlukis indah di atas kertas putih.

Lukisan itu tidak seperti yang semestinya. Ternyata bukan hanya ada wajahnya, namun bahkan seluruh tubuhnya, dari atas sampai bawah, dilukis dengan sempurna oleh Rani. Tidak jauh-jauh dari nyata, lukisan itu pula memperlihatkan rupa kemiskinan Bintang, seperti baju yang sungguh kumal dan celana yang telah terkoyak di bagian lutut. Celana koyak yang dimaksud tentu bukan bagian dari bergaya lantaran dia terkoyak dengan sangat amat dramatis. Namun yang begitu istimewa ada di bagian latar belakang, bentangan alam raya terarsir halus tapi tetap kentara antara langitnya dan lautnya, antara awannya dan makhluk-makhluk terbangnya, antara petangnya dan malamnya, antara mentarinya dan bulannya.

Tidak dapat disanggah, sekalipun oleh Bintang yang bahkan baru saja berjumpa dengan Rani, bahwa perempuan itu sungguh hebat dan berbakat. Sehingga datanglah sebuah pengharapan di dalam benak Bintang, bahwa Rani bisa menjadi pengobat daripada jiwanya yang penuh akan derita. Sebab dia benar-benar dan sangat ingin melukis, menciptakan sekurang-kurangnya sebuah seni layaknya mahakarya ciptaan Rani.

Lihat selengkapnya