Telah tertabur sekam dalam setiap tempat yang kududuki.
telah pula kerikil tajam terjal tertebar melukai jemari kaki lemah ini.
Aku terus melangkah tak perduli darah mengalir di selah jari kakiku.
Bahkan lautan api pun akan kutelan.
Walau harus menghanguskan seluruh tubuh kurusku,
karena termakan rindu tak bertepi.
Namun jiwaku akan tetap mencarimu belahan jiwaku
Reandra anakku...
Maafkan ibu tak tak kuasa mencegah nestapa pada ayahmu
Karena tangan ini tak cukup kuat menepis dendam yang telah tercipta
Maafkan ibu...
Tulisan berupa tumpahan kerinduan sertacinta kasihnya pada sang buah hati, engkau tulis diatas selendang putih yang selama ini melilit di lehermu, melengkapi kerudung yang menutupi rambutmu yang sudah mulai mendua warna.
Lelah yang mendera., pencarian dalam cuaca silih berganti. Membuatmu terserang penyakit serius. Lambung mu terluka memuntahkan darah.
Darah yang menyembur dari mulutmu dan tenaga yang semakin melemah, telunjuk yang tergetar, selesai sudah curahan penuh cinta kasih untuk putra tercintanya. Waktu yang dirasa tak lagi mau menunggu. Engkau tampaknya merasa waktumu semakin dekat.
Dalam gemetar tubuhmu yang menggigil, engkau tersenyum. Setelah susah payah berhasil menyelesaikan tulisan untuk putra terkasihmu di atas selendang milikmu. Karena buku harian mungil yang engkau tulis sejarah hidupmu hingga engkau harus menjadi musafir telah penuh.
Menjelang akhir tulisan tanganmu sudah tak kuat. Napasmu memburu. Darah berhamburan dari mulutmu. Tapi engkau yang sudah berusia limah puluh tahun itu menyelesaikan huruf terkhir pada tulisanmu
Saat itulah engkau melihat bayang anak muda tampan dalam remang langit biru. Bibirmu yang pucat bergerak membentuk senyum. Bayang anak muda bergantian dengan bayang lelaki yang telah mengantarkanmu menjadi seorang ibu. Walau untuk itu harus engkau tebus dengan harga yang begitu mahal.
Perjalanan panjang engkau lakukan. Walau tak juga memberikan hasil menemukan anak tercintamu.