Gadis INFP

Duroh
Chapter #2

Mendengar Tanpa Kata

Kupikir, dari sekian banyak kesialan yang menempel seperti bayangan di punggungku, satu-satunya keberuntungan yang pernah Tuhan beri padaku adalah: Teddy Angga Wiratama.

Dari namanya saja, orang sudah bisa menebak ia berasal dari keluarga berada. Anak pejabat tinggi, berseragam rapi sejak kecil, tak pernah kekurangan apapun. Sementara aku? Anak pembantu. Sepatu robek, baju seragam kebesaran, rambut dipotong sendiri dengan gunting dapur.

Pertemanan kami selalu membuat orang bertanya-tanya. "Kenapa kamu bisa berteman dengan anak seperti itu?" begitu tanya teman-teman Teddy.

"Aviena, kamu yakin dia nggak cuma kasihan sama kamu?" bisik orang-orang di sekitarku.

Tapi mereka tak tahu, semua itu bermula dari hal sederhana. Ibuku bekerja sebagai pembantu di rumah keluarga Teddy.

 Saat aku masih kecil, ibu sering membawaku ke sana. Rumah besar itu seperti dunia asing bagiku berkarpet empuk, dinding tinggi, suara musik klasik yang mengalun dari sudut ruangan. 

Tapi di situlah aku bertemu Teddy, bocah kecil dengan mata cokelat hangat dan senyum tanpa rasa curiga.

Kami bermain bersama. Tidak banyak bicara, tapi selalu mengerti. Aku, si kutu buku yang suka menggambar dan berimajinasi, dan Teddy, si anak pemikir yang diam-diam menyukai puisi. 

Kami bertumbuh dalam dunia yang tak pernah benar-benar menyatu, tapi saling menemukan dalam celah-celah sunyi yang tak dimengerti orang lain.

Teddy tidak pernah merendahkanku. Tidak pernah bertanya kenapa bajuku lusuh atau kenapa aku hanya makan roti keras bawaan dari rumah. Ia hanya mendengarkan. 

Lihat selengkapnya