Ibu dan Jørgen juga ada. Mereka berempat sedang duduk seperti menanti-nanti sesuatu ketika aku masuk ke dalam dan menendang lepas sepatuku. Sepatuku basah dan berlumpur, tapi tak seorang pun memedulikan. Ada hal lain yang memenuhi pikiran mereka. Aku bisa merasakannya.
Ibu bilang Miriam ada di kamar tidur, dan tampaknya memang benar demikian karena Nenek dan Kakek ada di sana. Ya, mereka memang bukan nenek dan kakek Miriam. Miriam punya Nenek dan Kakek sendiri. Mereka juga orang-orang yang baik, dan kadang-kadang mereka datang mengunjungi kami, tapi orang bilang darah lebih kental daripada air.
Aku pergi ke ruang tengah dan duduk di karpet, sementara orang-orang yang lain kelihatan begitu khidmat sehingga kupikir telah terjadi sesuatu yang serius. Aku tidak ingat apakah aku melakukan kesalahan di sekolah dalam beberapa hari kemarin, aku pulang ke rumah dari les piano pada waktu seperti biasanya, dan sudah berbulan-bulan berlalu sejak aku terakhir kali mengambil koin sepuluh kroner dari lemari samping dapur. Jadi, aku bertanya, “Apa yang terjadi?”
Mendengar itu, Nenek langsung mulai menceritakan bagaimana mereka menemukan sepucuk surat yang ditulis Ayah untukku persis sebelum dia meninggal. Aku merasa perutku kejang. Aku bahkan tidak yakin jika aku bisa mengingat Ayah. Sepucuk surat dari Ayah benar-benar terdengar formal, nyaris seperti sebuah wasiat.
Aku perhatikan di pangkuan Nenek ada sebuah amplop besar, dan sekarang Nenek menyerahkannya kepadaku. Amplop itu terekat dan di luarnya hanya tertulis “Untuk Georg”. Itu bukan tulisan tangan Nenek, atau Ibu, atau Jørgen. Aku menyobek amplop itu untuk membukanya, dan menarik keluar sebundel kertas tebal. Betapa terkejutnya aku ketika kubaca baris pertamanya:
Apakah kamu sedang duduk dengan nyaman, Georg? Setidaknya kamu mesti duduk dengan punggung yang tegak karena aku akan menyampaikan kepadamu sebuah cerita yang menyedihkan …. Kepalaku pusing. Apa gerangan ini? Sebuah surat dari Ayahku? Tapi, apakah ini asli?
“Apakah kamu sedang duduk dengan nyaman, Georg?” Dalam kepalaku, aku bisa mendengar suara seraknya yang dalam, dan sekarang bukan hanya dalam video; aku mendengar suara Ayah seakan-akan dia tiba-tiba kembali hidup dan duduk di ruangan itu bersama kami.
Meskipun amplop itu tertutup rapi ketika aku membukanya, aku harus bertanya kepada orang-orang dewasa di situ apakah mereka telah membaca surat yang panjang itu, tapi mereka semua menggelengkan kepala dan berkata bahwa mereka belum membaca sepatah kata pun.
“Tidak satu suku kata pun,” kata Jørgen. Suaranya terdengar agak malu-malu, dan itu tidak seperti kebiasaannya. Tapi, dia menyarankan agar mereka dibolehkan untuk membaca surat Ayah setelah aku selesai. Kupikir dia sangat ingin tahu isi surat itu. Aku merasa bahwa dia punya rasa bersalah tentang sesuatu.