BAB III
Si Bodoh
Kata guruku, aku bodoh. Karena aku tidak bisa mengalikan matematika. Kalau hanya sekedar mengalikan satu sampai sepuluh aku sudah hapal di luar kepala. Tapi kalau disuruh mengalikan 23 x 15 aku tidak tahu caranya.
Pertama kali aku masuk ke kelas tiga, guruku memberikan aku soal matematika. Cuma lima, tapi aku tidak bisa. Pertama kali ketika melihat soal, aku berpikir bagaimana bisa mengalikannya. Lalu aku bertanya pada teman sebangkuku. Anehnya, mereka langsung menutup buku tugasnya seakan aku akan mencontek. Padahal aku tidak ingin menyontek, hanya ingin tahu bagaimana aku bisa memecahkan masalah 45 x 26. Aku sudah mencoba untuk mengalikannya lewat perkalian sepuluh, tapi otakku tidak sanggup untuk mengalikannya. Aku tidak punya bayangan sama sekali.
Lalu aku maju ke depan kelas. Guruku, laki-laki. Dia sedang duduk sambil memandangi lembaran di atas meja, jarinya diketuk-ketuk berirama. Aku pun mendekat dan bertanya padanya, bagaimana cara agar aku bisa mengalikan jumlah besaran yang terdiri dari dua angka.
“Masa yang begitu saja kamu tidak bisa!” bentak guruku ketika aku bertanya.
Aku takut dan kembali duduk. Semua anak sibuk mengerjakan. Hanya aku yang diam sambil memandangi bukuku yang masih kosong angka. Lalu aku melirik ke samping, kulihat cara temanku mengalikannya.
Tapi bagaimana cara mengalikannya? Walau aku sudah menderetkannya dengan benar aku tetap tidak tahu langkah selanjutnya.
Aku benar-benar kehilangan akal. Akhirnya dengan nekat aku mengintip tugas temanku. dia sibuk menyusun angka lalu menjumlahkannya. Jadi, kupikir cara mengalikan hampir serupa dengan penambahan, aku cukup mengalikan dengan menjumlahkan angka-angka menderet ke bawah. Akhirnya aku pun mencoba cara tersebut.
Dengan bangga aku menyerahkan latihan tersebut untuk dinilai. Semua anak separuhnya sudah mengumpulkan tugas, tentu saja aku tidak mau kalah.
Pak Guru mengerut melihat angka-angka yang aku tulis lalu tanpa ragu langsung menyoret-nyoretnya dan memberi angka bulat yang besar dipaling bawah bukuku.
Aku terperangah. Bagaimana bisa soal yang kukerjakan dengan penuh percaya diri disalahkan semua. Di mana salahnya. Aku harus tahu!
Kupikir, setelah mendapat nilai 0, guruku akan mengajari bagaimana cara mengalikan soal yang ada di papan tulis. Tapi mendadak topik matematika pun berubah dan soal itu tidak dibahas sama sekali. Guruku telah melupakan ada seorang diantara 30 anak yang mengisi kelas 3 B yang tidak bisa matematika. Tapi mengapa guruku tidak peduli.
Aku pulang dengan catatan dihari pertama nilai nol. Tapi ternyata kesialanku tidak selesai sampai di sana. Ketika pulang ayah sudah menunggu. Dia bertanya penuh semangat bagaimana sekolahku hari ini dan aku dapat nilai berapa.