BAB VI
Bertemu Tuhan
Ini adalah sebuah rencana. Aku tidak tahu bagaimana bisa mewujudkan rencana tersebut, tapi ini adalah rahasia, karena semua orang pasti akan menertawakan rencanaku. Rencanaku adalah bertemu Tuhan.
Kapan rencana itu muncul di dalam kepalaku, aku pun kurang jelas hari apa, tapi aku ingat saat itu.
Biasanya aku pulang dari sekolah agama bersama Dini. Dia teman satu komplek denganku, tinggalnya di belakang dekat tanah lapang. Rumahnya agak menjorok ke tengah dengan setengah bangunan yang belum selesai di pugar. Ayah Dini adalah ketua RT di komplekku. Kata Masruroh, ayah Dini bertugas mengurus KTP atau surat izin. Bagiku, Dini adalah teman baik yang sekolah di madrasah yang sama. Kalau istirahat kami selalu jajan bareng, kami selalu membeli makanan yang sama, bahkan kami pun sering berbagi jawaban soal dan saling mencocokkan. Aku suka Dini karena sikapnya yang mengikuti aku, kami kompak.
Suatu kali, ketika aku menjemput Dini di rumahnya, aku mendapati Dini keluar dengan hidung memerah dan wajah yang pucat. Dia kena flu, agak parah karena sempat demam dan hidung yang tersumbat. Kalau hidung tersumbat dia harus bernapas lewat mulut, dan itu susah sekali, karena bibir akan terasa kering dan tenggorokan terasa seperti dikelitiki bulu kemoceng.
Dini berbicara dengan suara seperti disangkut ke langit-langit mulut. Dia bersusah payah untuk berbicara sambil bernapas. Ditambah lagi terkadang dia bersin-bersin.
Melihat kondisinya aku jadi iba, jadi kukatakan padanya, jangan khawatir dan aku akan menyampaikan pada Ustadzah bahwa Dini tidak bisa masuk karena flu. Dini mengangguk-angguk mengucapkan terimakasih dengan wajah pucat dan mata yang seperti cermin, karena air mengambang di antara dua matanya.
Setelah mengatakan itu aku berangkat sendirian ke sekolah madrasah dan itu terasa agak aneh. Biasanya kalau ada Dini kami sering bercerita atau sekedar mampir ke bukit lumpur, sebuah tempat pembuangan sampah yang terdiri dari gundukan tanah. Rasanya tidak seru kalau aku main sendiri ke bukit lumpur, karena tiada teman untuk bisa berinteraksi dan diajak berimajinasi. Aku menyukai Dini karena dia pun pandai berimajinasi. Kalau kami main ke bukit lumpur, kami akan saling bercerita tentang khayalan kami, tentang penjelajahan yang akan kami lakukan baik ketika berangkat ke sekolah Madrasah maupun setelah pulang.
Dan ketika sampai di sekolah madrasah pun aku merasakan sentuhan kesepian yang sama. Aku merasa tidak ada anak yang bisa aku ajak keluar dari pagar sekolah dan menyelinap untuk jajan di luar lingkungan sekolah. semua teman sekelasku tidak ada yang setuju dengan ideku. Mereka menganggap keluar lingkungan sekolah seperti sebuah perbuatan yang mencari masalah. Ditambah pula I’I, tetap mengganggu dengan sikap liarnya. Hari itu dia sudah menganggu lebih dari tiga anak perempuan dan menarik kerudung salah satu anak perempuan hingga lepas dan rambut anak perempuan itu awut-awutan. Sempat juga aku beradu tinju dengan I’I walau aku yang paling menderita karena tinju I’I jauh lebih kuat dari tenagaku. Tanganku menderita sakit akibat pukulan nyasar I’I yang kalap karena aku melawan. Aku juga sempat disepak I’I hingga nyaris aku menangis, tapi kutahan perasaan kesal dan keinginan untuk menitikan airmata. Dengan tegar aku pandang I’I seakan menunjukkan aku kuat walau di dalam tubuhku terasa nyut-nyut-an.
Bagiku di sekolah madrasah tanpa Dini seperti berada di dalam labirin yang mendekati neraka. Semua anak punya teman dekatnya masing-masing, dan aku merasa seakan berada di luar lingkaran. Pelajaran jadi masuk separuh sebelum menyesak minta untuk keluar, dan aku tinggal di dalam ruang hampa tanpa sahabat baikku.
Ketika pulang sekolah aku merasa sangat tidak menyenangkan bila harus melewati bukit lumpur tanpa Dini di sebelahku, dan juga menapaki tiap jalan tanpa seorang teman yang bisa diajak bercerita tentang hal-hal lucu. Lalu terjadilah hal tersebut, sesuatu yang tidak terduga. Ketika lonceng berdentang dan aku hendak melesat lewat gerbang depan, aku bertemu dua adik kakak, Yana dan Yeti. Mereka berdua tinggal di dekat komplekku, tapi agak jauh karena untuk bisa ke rumah mereka, kita harus melewati jalan kecil yang agak berliku. Ketika mereka bertemu muka denganku di gerbang sekolah, keduanya menyapa dengan ramah, lalu mengajakku pulang bersama. Suatu kebetulan karena aku sekarang tanpa teman dan aku merasa kalau pulang sendiri semua akan jadi membosankan. Jadi aku setuju untuk pulang bersama mereka.
“Biasanya kamu pulang bareng temanmu kan, sekarang ke mana temanmu?” Yana bertanya ketika kami jalan bersama.
“Oh, Dini. Hari ini dia sakit, jadi nggak masuk.” Jawabku.
“Oh begitu,” Yana mengangguk.
“Gadis, eng….kamu tahu nggak Tuhan itu seperti apa?” mendadak Yeti bertanya ketika kami tengah berjalan menyusuri jalan raya dan berbelok memasuki bukit lumpur.
“Tuhan itu……” aku berpikir sebentar, lalu memandang keduanya yang bertampang serius menunggu jawabanku, lalu aku menggeleng.
Keduanya sekarang saling berpandangan seakan tengah menyimpan rahasia, lalu Yana berbicara padaku dengan suara yang dipaksakan seperti berbisik, “Kamu ingin tahu nggak Tuhan itu seperti apa?”
“Memang Tuhan seperti apa?” tanyaku polos dan rasa ingin tahu.
Keduanya saling pandang lagi, tersenyum, “Kamu ingin tahu nggak?” tanya Yeti padaku.
Untuk waktu yang agak lama aku berpikir, ada rasa penasaran bergelayut di dalam kepalaku, maka aku pun mengangguk.
“Tapi ini rahasia,” Yana berkata melengkapi kerahasiaan ceritanya, lalu aku mengangguk.
“Kalau begitu Gadis ingin enggak ketemu Tuhan?” Yeti kembali bertanya yang membuat aku semakin bingung.
“Memang bisa?”
“Tentu saja bisa. Ada caranya,” jawab Yana sambil tersenyum.
“Bagaimana?” tanyaku lebih karena rasa penasaran yang mengunung.
“Kalau ingin bertemu Tuhan, itu mudah saja. Suruh seluruh orang di sebuah tempat menutup seluruh jendela rumahnya, maka Tuhan akan turun dari langit,” jelas Yeti padaku.