BAB VII
Kompleks tempat kutinggal menyerupai lembah. Mungkin dahulu ada sebuah meteor jatuh dan mengantam tempat itu. Tapi ayah bercerita dahulu tempat itu adalah rawa. Karena ingin dijadikan tempat tinggal, rawa tersebut diuruk hingga rata. Kalau dilihat dari posisi geografis, kompleks itu seperti diapit oleh dua bukit besar. Satu mengarah ke atas dan satu lagi di belakang lapangan. Yang mengarah ke atas dari depan adalah jalan raya, sedang yang di belakang lapangan adalah rel kereta api.
Lebih ke belakang lagi ada daerah kumuh. Orang-orang menyebutnya Tegal Cabe. Katanya dahulu daerah kumuh itu adalah perkebunan cabe, itu terjadi di zaman Belanda. Tapi karena daerah itu mati, maka yang tumbuh bukan lagi cabe, tapi perumahan masyarakat kelas bawah. Tapi disela-sela rel kereta, aku selalu dapat menemukan ilalang berbuah cabe. Bentuknya memang seperti cabe, tapi jangan dimakan atau akan keracunan. Kadang aku dan teman-teman mengumpulkan buah dari ilalang tersebut dan menumbuknya. Setelah itu aku hidangkan bersama lumpur merah dan pasir, bersama para boneka dan teman-temanku, ketika bermain ibu-ibuan.
Kompleks tempatku tinggal seperti sebuah desa dengan labirin perumahan mengelilingi kami. Segala ragam manusia numplek di tempat itu, dari bermacam-macam suku dan beragam pekerjaan.
Di pojokan jalan menuju keluar ada sebuah ceruk dari dinding rumah orang. Ceruk itu juga dilengkapi dengan tempat pembuangan air. Kadang aku sering melihat air keluar dari saluran tersebut, jatuh ke selokan. Sebenarnya itu hanya pemandangan yang biasa saja. Tapi pemandangan itu menjadi ajaib sejak muncul penghuni ceruk tersebut. dia seorang perempuan, lusuh dengan baju tambal sulam dan saling berhimpitan. Ada buntelan dan sarung bolong-bolong di sekitar ceruk tersebut. Sengaja diletakkan untuk tempat duduk. Buntelan disenderkan ke dinding, siap menjadi bantal guling bila ingin berbaring. Aku tahu orang itu gila, karena selalu nyeloteh sendiri. Dia tidak mengganggu, tapi sering memaki tidak jelas pada orang yang lewat.
Sebenarnya sejak penghuni baru tempat itu muncul, aku selalu merasa takut untuk berjalan keluar kompleks. Aku takut mendadak orang gila tersebut menyerangku, lalu mengoyak dagingku. Bisa saja dia mencakar atau menendang. Aku mendengar kabar tentang seorang yang pernah melewati orang gila dan diludahi. Ludahnya kental dan bau, ketika mendengar kisahnya aku merasa jijik sendiri. Makanya, setiap hendak lewat ditempat tersebut, aku selalu berlari sekuat tenaga tanpa menoleh. Kalau sudah memastikan bahwa orang gila tersebut terlewati, aku akan menarik napas dengan lega sambil memegangi dada.
Setiap hari, itu jadi pemandangan yang biasa untukku dan si gila. Aku yang selalu lari bila melewatinya setiap pagi. Anehnya, orang gila itu malah tidak bersuara atau memaki seperti dia kepada orang lain.
Suatu kali aku pergi keluar dengan salah seorang pegawai ayah, namanya Tyas. Aku memanggilnya dengan sebutan Om. Dia anak lulusan SMP tapi tidak melanjutkan sekolah karena seret biaya. Ayah kasihan pada Tyas karena masih kerabat, maka dia ditampung ditempat ayah bekerja. Ketika aku melewati orang gila itu, dengan roman takut-takut dan segera bersembunyi di belakang lengan Om Tyas. Melihat tingkah gelisahku Om Tyas pun bertanya kenapa.
“Habis takut,” kataku, “dia kan gila. Bisa aja aku nanti dicakar.”
Om Tyas tertawa lalu menoel pipiku dengan gemas, “Gadis, coba nanti Om Tyas hadapi orang gila itu. Pasti Gadis kaget,” celoteh Om Tyas dengan bangga.
“Memangnya Om berani?” tanyaku keheranan dan takjub.
“Kenapa takut. Om malah bisa ngajak dia ngobrol. Gadis mau lihat?” tanya Om Tyas lagi penuh percaya diri.
“Mau…mau!” sorakku penasaran. Aku ingin tahu bagaimana Om Tyas bisa bicara dengan orang gila itu tanpa dimaki.
Ternyata Om Tyas membuktikan omongannya. Pertama-tama Om Tyas mendekati Orang gila tersebut, berjongkok lalu berbicara. Mengucapkan sepatah kata seperti Hai, apa kabar, pagi ini menyenangkan, ya.
Aku terpesona. Seperti melihat seorang pawang di sirkus yang tengah menjinakkan singa liar. Di dalam mataku seakan ada gemintang bertaburan dengan bunga-bunga putih, merah dan pink. Aku benar-benar kagum dengan keberanian Om Tyas menyapa orang gila tersebut. Setelah mengucapkan kata-kata salam dan dijawab dengan geraman dan omongan ngawur si gila, Om Tyas pun berdiri kembali, lalu mengandeng tanganku dengan bangga. Dadaku seperti tengah melambung. Aku ingin sekali bercerita pada teman-temanku bahwa Om Tyas bisa bicara dengan orang gila yang kami takuti tanpa dicakar.
“Gadis nggak perlu takut lagi. Nanti kalau ketemu muka sama orang gila itu, sapa saja. Dia nggak akan gigit Gadis kok.”
“Benar Om?” tanyaku penasaran.
“Iya. Walau dia gila. Dia juga manusia “ jelas Om Tyas menasehatiku.
Aku mengangguk dan mengingatnya. Tapi hatiku masih melompat-lompat karena rasa bangga. Aku punya Om yang tidak takut sama orang gila. Apakah ada yang lebih berani daripada Omku?
**
Ketika pulang sekolah, aku membeli sebungkus nasi uduk lengkap dengan sambal terasinya. Tepat ketika aku jalan hendak masuk ke dalam kompleks, aku melihat si orang gila tengah duduk sambil melamun. Tangannya ditopang ke dagu. Aku teringat kejadian dengan Om Tyas dahulu dan nasehatnya. Maka aku mendekat ke arah orang gila tersebut.