BAB VIII
Sihar
Teman ayah datang ke rumah di satu sore, sambil membawa anaknya. Namanya Sihar. Nama aslinya Harmi, tapi lebih umum di panggil Sihar. Tubuhnya kurus dengan kepala yang nyaris plontos. Gigi Sihar menonjol seperti kelinci. Kalau dia tertawa, gigi tengahnya yang besar itu tampak jelas seakan hendak menutupi bentuk giginya yang lain. Sihar kelas 6 SD, dia lebih tua dariku tiga tahun.
Ketika pertama kali aku dan Sihar bertemu pandang, dia tersenyum padaku, lalu katanya, “Jadilah adikku.”
Aku heran mendengar ucapannya itu, lalu bertanya kenapa.
“Aku tidak punya adik perempuan.” Ucap Sihar.
Sejak kami bertemu, setiap hari sepulang aku sekolah SD dia selalu datang ke kompleks kami. Sihar itu gesit dan pemberani, dalam waktu singkat dia dikenal oleh anak-anak lelaki di kompleks dan dapat berteman dengan mereka. Dia mendapat julukan anak atas. Artinya anak yang tinggal di atas atau di luar kompleks kami.
Setiap hari dia selalu menemuiku dan mengajak bermain. Pernah dia mengajakku memancing di kolam ikan milik orang, mencuri jambu milik tetangga, menjelajahi hutan di belakang kompleks, berjalan menyusuri rel kereta api dan yang paling gawat dia mengajakku pergi mengunjungi sebuah tempat yang terkenal ada buaya putihnya.
Sebenarnya itu hanya cerita dari mulut ke mulut, tidak pernah ada bukti yang benar tentang cerita tersebut, karena itulah Sihar sengaja mengajakku untuk melihat dan membuktikan apakah buaya putih itu benar-benar ada.
“Tapi kan takut…” ucapku.
“Nggak apa-apa, kan ada aku,” balas Sihar, “lagipula teman-teman yang lain juga ikut. Tenang saja, kami semua pasti akan menjaga kamu!”
Aku setuju, dan kami semua pergi mengunjungi tempat tersebut. Untuk dapat pergi ke tempat itu, aku, Sihar dan teman-teman cowok di kompleks sengaja mengambil jalur belakang, melewati rel kereta. Dengan begitu kami semua tidak akan kepergok oleh orang-orang dewasa penghuni kompleks. Ini adalah petualangan seperti Sinbad yang bertualang di samudera tanpa batas.
Setelah melewati rel kereta, kami menuju jalan raya, menyebrang lalu berjalan menyusuri jalan kecil sampai akhirnya masuk ke dalam hutan yang dipagari. Hutan tersebut bukanlah hutan sungguhan, hanya sekumpulan pohon-pohon agak rapat dengan ilalang yang tinggi. Tempat itu benar-benar sunyi tapi penuh dengan pohon seri yang berbuah masak. Sambil berjalan Sihar mengambilkan untukku buah seri yang ranum. Kami seperti pasukan kecil yang siap dikirim ke medan berbahaya, tapi begitu riang. Setiap melewati ilalang, Sihar maju sambil menuntunku, bergumam bila ada duri menghalangi. Anak-anak cowok kadang berlompatan menjangkau dahan pohon yang tinggi, seakan tengah menjangkau mentari.
Perjalanan kami berakhir pada sebuah kolam yang berselimut lumut hijau. Di sekeliling kolam tidak terdapat pohon yang tinggi. Hanya rumput sebatas mata kaki. Aku pun duduk di pinggir kolam karena lelah berjalan. Sihar celingukan lalu memerintahkan beberapa anak untuk berjalan menjelajah sekitar. Anak-anak yang ikut dengan kami patuh, mereka sudah menganggap bahwa Sihar adalah pemimpin yang layak memberi komando.
Setelah beberapa anak menyebar di sekitar tempat tersebut, Sihar berjongkok di sisiku, “Cape Gadis?”
“Lumayan. Mana buaya putihnya?” tanyaku sambil menyebarkan pandangan di sekitar.
“Memangnya Gadis mau lihat buaya putih? Nggak takut?” goda Sihar padaku.
“Takut sih, tapi kan ada Sihar!” jawabku spontan yang membuat Sihar terdiam. “Kenapa diam?” tanyaku heran.
“Bukan diam, tapi terharu…” gumam Sihar.
“Terharu?”
“Iya.”
“Kenapa?”
Sihar diam, agak salah tingkah, “Ya, terharu saja. Sudah jangan dipikirkan,” akhirnya Sihar ikut duduk di pinggir kolam, bersebelahan denganku.