BAB IX
Musim Capung
Rumor tentang Sihar membakar rumah sudah menyebar. Semua orangtua yang tahu anaknya berhubungan dengan Sihar mulai gerah dan gelisah. Mereka dengan tegas melarang putra-putra mereka bermain dengan Sihar. Sosok Sihar jadi ditakuti, dan hanya aku yang tidak takut. Sihar tidak jahat, hanya saja memang tidak semua orang dewasa mengerti. mereka lebih suka menuduh dan melabeli, tanpa mengenali. Aku tahu hati Sihar lebih tulus dari orang dewasa disekitarku.
Waktu itu di kompleks sedang musim capung. Begitu banyak capung beterbangan di tanah lapang waktu sore telah datang. Warna sayap capung bermacam-macam. Ada yang transparan hijau, biru atau kuning terang. Mata capung bulat dan bunyi terbangnya mendengung.
Ada anggapan bahwa capung dapat mengobati anak yang suka ngompol. Kaki capung kita dekatkan pada pusar si anak beberapa saat. Si capung akan berontak karena keempat sayapnya dipegang dengan tangan, berontaknya si capung akan mengerakkan kakinya secara cepat di pusar, itu akan menimbulkan geli yang langsung membuat si anak ingin pipis. Tapi, teori tersebut belum pernah terbukti ada hasilnya, walau begitu orang tetap percaya anggapan tersebut.
Kedatangan musim capung membuat aku dan teman-temanku yang sebaya senang bukan kepalang. Kami semua menyiapkan jala yang terbuat dari plastik dan ranting kayu. Plastik diikat pada ranting kayu dengan karet gelang maka jadilah jala sederhana penangkap capung.
Di hari Jumat sore, aku dan teman-teman berkumpul di rumah Dini yang letaknya dekat dengan lapangan. Tentu saja tujuan kami untuk menangkap capung. Tanah lapang tempat kami bermain luas. Dipinggir-pinggir tanah lapang terdapat pepohonan berbunga merah muda mirip lonceng, dan di tanah lapang sendiri, tumbuh perdu dan ilalang yang meninggi hingga selutut kami. Hanya pada bagian tengah lapangan saja rumputnya tidak sampai mata kaki.
Musim Capung menandakan musim bunga datang. Aku tahu tepat ketika capung-capung terbang ditanah lapang, ada banyak air di atas daun talas. bunga-bunga lonceng merekah dan daun dandelion terlihat bergoyang-goyang. Musim seperti ini udara tenang, angin bertiup lembut dan sore terasa nyaman.
Capung suka sekali menghuni ilalang yang tinggi. Hinggap dan diam dengan tenang. Saat itulah aku dan teman-temanku akan mendekat dengan mengendap-endap dan hap, di jala plastik kami, capung tertangkap. Biasanya capung di dalam jala akan terkejut, lalu mendadak terbang dan membentur plastik. Suara dengungannya demikian keras, tapi justru itulah yang kami suka.
Kami menangkap satu demi satu capung dan mengurungnya dalam kantong plastik putih yang sudah dilobangi dan kami beri rumput. Aku dan teman-temanku membatasi tiga ekor dalam satu hari tangkapan. kami juga paham, capung tidak boleh ditangkap berlebihan, karena kami ingin melihat setiap hari dimana capung berterbangan di atas tanah lapang sampai menjelang sore.
Setelah acara menangkap capung usai, teman-temanku berkumpul kembali dan memasukkan tangkapan kami ke dalam toples. Biasanya tangkapan itu akan mati dalam dua hari, atau kalau kami merasa cukup senang, besoknya capung kami lepaskan kembali. Tentu saja capung tersebut tidak lagi segar, mereka akan terbang berpusing sebentar, lalu pelan-pelan kembali kekelompoknya.
Aku mengumpulkan tiga ekor capung dalam toples bening yang aku pinjam dari mama. Lalu aku segera membawa hasil tangkapanku pada si gila.
“Lihat! Ini namanya capung!” ucapku dengan senang ketika memperlihatkan capung yang aku tangkap pada si gila, “Suaranya ribut, warna sayapnya bagus. Kalau terbang kayak pesawat.” Jelasku seperti seorang ahli serangga. Yang bisa aku jelaskan hanyalah apa yang bisa aku amati. mata capung bulat dan terlihat seperti memiliki banyak lensa.
Si gila memperhatikan toples dengan sikap ingin tahu. Kepalanya bergerak-gerak dan matanya lincah mengikuti si capung yang berusaha terbang tapi terbentur dinding kaca.
“Bagus sekali capungnya, Gadis,” sebuah suara menegurku. Aku kaget dan buru-buru berbalik.
“Sihar!” teriakku senang. Tapi teriakan senang menjadi surut ketika ingat larangan ayah tempo hari.
Sihar ikut berjongkok di sebelahku. Sedang si gila mulai memberanikan diri mengetuk-ngetuk dinding toples. Ketukan membuat si capung kaget, lalu terbang menjauh tapi terbentur lagi dengan dinding di belakangnya.