BAB XI
Sang Wakil
Setelah insiden dengan Surya, Sihar pun kembali tidak muncul lagi di kompleks. Aku dengar Surya mengadu pada kedua orangtuanya tentang Sihar yang menghajar wajahnya sampai lebam. Masalah agaknya jadi besar, karena orangtua Surya tidak terima. Mereka mengadu pada kedua orangtua Sihar dan pandangan orang-orang di kompleks tentang Sihar semakin miring.
Setelah itu terjadi lagi kejadian mengejutkan. Dinding rumah Pak Haji yang tinggal di paling depan kompleks kami mendadak penuh tulisan dan lambang genk yang dibentuk Sihar. Lambang seperti gambar jari empat yang terbuka.
Mereka menulisi dinding dengan pilok warna-warni. Dinding rumah Pak haji yang bersih jadi kotor dan tidak enak dipandang. Kadang-kadang anak laki-laki di kompleks sering memelesetkan kata tersebut jadi mental. Artinya, terpelanting.
Kata Metal mengingatkan aku tentang percakapanku yang dulu dengan Sihar. Sihar bercerita bahwa dia ikut berkumpulan bernama Metal. Aku tidak tahu apa maknanya.
“Itu pasti kelompok berandalan!” ucap Aisyah padaku ketika kami sedang bermain ibu-ibuan.
“Kenapa begitu?” tanyaku heran.
“Kata ibuku. Bukannya berandalan itu yang dulu pernah membakar rumah. Kalau nggak salah si anak atas itu jadi pemimpinnya. Benar?” Aisyah nyerocos dengan semangat.
“Masa sih Sihar jadi berandalan.” Ucapku dengan ragu-ragu.
“Gadis ini gimana sih. Pasti dia berandalan. Soalnya orang dewasa ngomong begitu. Pasti itu benar!!” Aisyah memastikan dengan penuh keyakinan. “Lagipula orang-orang dewasa di kompleks sudah melarang anak itu muncul lagi. Kalau kelihatan pasti langsung diusir.”
Aku diam saja sambil memainkan bonekaku. Kepalaku jadi sakit mendengar Aisyah menjelek-jelekan Sihar. Memang setahuku Sihar tidak pernah baik pada anak perempuan lain selain diriku. Penampilannya yang seperti pemimpin selalu bikin takut anak-anak perempuan untuk ikut bermain. Lagipula kalau Sihar datang ke kompleks, dia selalu bermain denganku atau dengan anak laki-laki di sini.
“Eh, kamu tahu kan Mutasor. Itu lho, anak Pak Azis. Dia juga kan ikut kelompok yang namanya Metal itu. Malah katanya jadi wakil. Dia sering datang sambil gagah-gagahan. Pokoknya nyebelin deh. Dia suka sekali ganggu anak-anak cewek!” Aisyah bercerita lagi, sekarang dia sedang sibuk membuka baju bonekanya dan memakaikan kain pada bonekanya, “Nah, kalau begini bonekanya jadi keren,” katanya sambil mematut-matut hasil kerjanya dengan bangga.
Mengenai anak bernama Mutasor, aku sampai kaget mendengar dia masuk kelompok yang namanya Metal. Apalagi dia jadi wakil. Aku tahu siapa itu Mutasor, sekolah SD kami sama. Mutasor itu kelas 4, tidak naik kelas selama dua tahun. Sudah bodoh, nakalnya minta ampun. Rumahnya memang masih di kompleks, tapi dia tinggal di tengah, artinya bukan tinggal di lembah. Kadang-kadang dia sering datang ke kompleks kami dan senang sekali menggoda anak-anak cewek. Pernah ada kejadian yang bikin aku jijik dan semua teman-teman perempuan di kompleks enggan dekat-dekat dengan dia. Si Mutasor pernah memperlihatkan alat kelaminnya pada kami. Mutasor juga suka sekali mengeluarkan kata-kata kotor yang aku tidak mengerti, seperti “entotan” atau “memek” atau “cepotan”. Kata teman-temanku itu bahasa kotor dan jorok.
Aisyah menoleh kearahku, alisnya berkerut, “Eh Gadis, aku dapat kabar baru lho. Kamu pasti kaget.”
“Apa?”
“Katanya Mutasor naksir kamu.”
“APA!” aku sontak kaget, tidak percaya.
“Benar!” Aisyah mengangguk pasti.
“Tahu dari mana?” desakku mulai gelisah.
“Dari anak-anak cowok. Katanya Mutasor ngancam, tidak boleh ada anak yang naksir Gadis, soalnya dia sudah naksir duluan. Gitu…”
“Kok enak gitu ngomongnya.”
Aisyah menganggat bahu, “Ayo lho! Kamu pasti dikejar-kejar Mutasor!”
Aku melongo. Bagaimana bisa sih, Mutasor naksir aku. Lagipula siapa yang bakal sudi suka sama Mutasor, udah bodoh nakal lagi.
**
Lewat dua hari sejak percakapanku dengan Aisyah aku sudah lupa masalah Mutasor yang suka padaku. Aku bermain seperti biasa bersama teman-teman. Kali ini kami main kasti di lapangan. Ketika sedang bermain kasti, mendadak Mutasor muncul dan berdiri di jembatan kecil penghubung antara lapangan dengan kompleks. Gayanya sok digagah-gagahkan, dan tangannya dilipat di depan. Mutasor botak dengan badan besar tapi otak bebal.
“Lagi main apa?” tanyanya pada kami.
“Main kasti.” Jawabku yang berada paling dekat dengan jembatan.
“Boleh ikut?” tanyanya dengan suara yang dimerdu-merdukan.
Aku memandang kearahnya, lalu kemudian mengangguk. Mutasor girang sekali, dia segera berjalan cepat-cepat menyeberangi jembatan lalu berdiri disampingku dengan lagak sok mesra, “Aku sekelompok dengan Gadis ya,” ucapnya.
“Tapi kelompokku sudah penuh. Kamu kelompok Novi saja,” tunjukku pada Novi yang sedang memegang pukulan.
Mutasor agak kecewa, tapi tidak hilang akal dia segera bergerak ke Novi dan berbicara dengannya. lalu Novi mendekat ke arahku sambil bilang bahwa sebaiknya salah satu anggotaku diganti saja biar Mutasor bisa masuk kelompokku. Mula-mula aku keberatan, tapi cowok-cowok yang jadi anggota kelompokku dengan senang hati bertukar tempat dengan Mutasor. Mereka seperti ketakutan, apalagi Mutasor sesekali mendelik tajam ke arah cowok yang terlalu dekat denganku.