BAB XIII
Naik Kelas
Hari kenaikan kelas tiba. Sudah waktunya aku naik ke kelas 4. Ketika bagi rapor, seluruh orang tua teman-temanku datang ke sekolah, kecuali orangtuaku, mereka sedang pergi ke Jakarta. Aku menunggu sampai semua orang dibagi rapor, dan aku berniat menemui guruku untuk meminta raporku, tapi sayangnya permintaanku ditolak. Guruku bilang yang boleh mengambil raporku hanya orangtuaku. Akhirnya aku pulang dengan hati sedih, ditambah lagi di rumah kedua orangtuaku tidak ada.
Ketika orangtuaku pulang, aku memberitahu bahwa rapor tidak bisa diambil kecuali mereka yang mengambilnya ke sana. Akhirnya ayah datang ke sekolah dan menemui guruku. Mereka berbicara lama sekali dan aku menunggu diluar dengan gelisah. Setelah menunggu hampir satu jam lebih, ayah keluar dengan wajah kecewa.
“Ayo pulang,” ucapnya ketus dan kemudian berjalan di depanku dengan sikap yang tidak terbaca.
Aku mengikuti dari belakang dengan bingung. Sebenarnya apa yang terjadi, mengapa wajah ayah begitu murung dan kecewa. Walau bertanya-tanya dalam hati, aku tidak berani bersuara.
Akhirnya pertanyaan besar tersebut terjawab. Sesampainya di rumah Ayah membanting buku rapor bersampul merah tersebut ke meja kaca ruang tamu.
“Lihat!” kecamnya dengan sangar, “Rapor kamu. Hampir separuh isinya merah!” ucap ayah dengan wajah garang.
Aku menengok penasaran dan membuka raporku. Kulihat, hampir seluruh isinya merah, dari mulai IPA sampai Matematika. Angka lima menghias di mana-mana. Ayah tampak kacau dan galau. Mendadak mama muncul dari dapur, ingin juga melihat rapor milikku.
“Kebakaran semua!” ucap ayah dengan kecewa.
Rapor itu kini pindah ke tangan mama, mama menelitinya dengan wajah tidak percaya.
Aku terpekur ketakutan. Hukuman apa kiranya yang menanti kalau raporku merah. Pukulan? Lidi? Ujung gesper? tamparan atau cubitan mama? Aku merasa seluruh tubuhnya mengejang, aku benar-benar kalut. Ayah tampak kacau, dengan gemetar tangannya meraih rokok, ketika pematik api berusaha dinyalakan, berkali-kali ia mati. Ayah semakin risau dan semakin merasa ingin meledak, melihat itu tentu saja aku ketakutan.
Lalu, entah ada keberanian apa yang mendadak mengisi seluruh rongga otakku, aku segera keluar pintu, dengan tetap memakai tas dan mengambil sendalku. Aku berlari keluar dengan cepat. Ayah kaget, langsung memanggil namaku dengan murka, tapi aku sudah tidak peduli. Aku sudah tidak bisa berpikir lagi. Yang aku tahu hanya lari. Lari sejauh-jauhnya dari kemarahan ayah. Karena ayah bisa saja membunuhku.
Aku punya uang, hasil pembagian tabungan di sekolah di hari terakhir. Uang itu belum sempat aku berikan pada mama. Cukup untuk bertahan hidup sementara di luar rumah. Aku segera keluar dari kompleks, melewati si gila menuju jalan raya. Dengan tangan tergetar aku menyetop angkot yang lewat. Angkot tersebut berhenti dan melaju kembali.
Pikiranku kosong, dan mobil angkot melaju tanpa bertanya. Gambaran orang lewat seperti kabur, dan goyangan pepohonan yang terlewati seolah-olah tengah berlari. Udara panas, dan daun-daun rontok jatuh ke tanah, terinjak ban mobil lalu terbang kembali, sebelum jatuh lagi. Penumpang mobil ada 9 orang, dengan 2 anak kecil memakai seragam SD, sepertiku. Si kernet menggemerincingkan uang padaku, meminta ongkos. Aku merogoh tas, mencari lembar seribu dan menyerahkannya pada kernet.
“Ke mana?” tanya kernet padaku.
Ke mana? Aku tidak tahu. Aku hanya ingin lari dari rumah, aku tidak ingin dipukul ayah. Lalu aku menjawab, “Ke merak.”
Mendengar jawabanku, Si kernet menyodorkan tangannya yang terkepal, aku pun membuka telapak tanganku, dan si kernet segera menumpahkan beberapa uang logam padaku, sebagai kembalian.
Merak, adalah daerah pantai. Waktu aku kecil ayah selalu mengajakku ke pantai. Di merak ada dua pantai yang dipakai orang-orang untuk bermain, daerah Florida, dan satu lagi salira Indah. Ayah selalu mengajakku bersama mama ke Salira Indah, dengan motor tentu saja. Motor ayah besar, bunyinya menderu nyaring. Kalau naik itu aku merasa gagah. Ayah kadang memboncengku di depan, kadang di tengah diapit oleh mama. Itu adalah masa terindah, dan entah sejak kapan, ayah menjadi sering memukulku bila aku melakukan kesalahan.
Baru kali ini aku ke Merak menggunakan angkot. Kalau tidak salah untuk sampai ke pantai aku harus naik angkot dua kali. Angkot yang pertama mengantarkan ke Merak, angkot yang kedua menuju pantai. Uangku cukup, bahkan untuk ongkos masuk.
**
Salira Indah di hari biasa memang sunyi, tapi karena hari ini sudah masuk musim liburan anak SD, maka suasana tidak terlalu sunyi. Pantai ramai, walau tidak seramai hari minggu.
Aku bermain di pinggir pantai, menendang-nendang ombak seakan aku raja dunia, sang pengendali air. Aku bertingkah seakan tengah menarik air ketika ombak datang, dan aku bergaya seakan punya ilmu sakti untuk membuat air meluncur mundur. Secara alamiah air akan datang lalu meluncur mundur kembali ke pantai, tapi bersikap seolah-olah aku adalah pengendali air sangat menyenangkan. Aku merasa punya kekuasaan walau hanya dalam khayalan.
Setelah lelah bermain seolah-olah, aku berjalan menyusuri pasir yang basah. Jejak kakiku tertinggal sebelum tersapu ombak. Aku terus berjalan sambil sesekali melihat ke bawah. Ketika aku melihat kulit kerang dengan warna menawan aku membungkuk mengambil dan mengumpulkan di tangan. Ada juga binatang kecil mirip kepiting keluar masuk dari lubang, bergerak cepat dan menghilang lagi di lubang kecil yang lain. Aku berjalan terus menyusuri pantai menuju sekumpulan karang di ujung pantai.
Dahulu ketika kecil aku suka sekali bermain di karang tersebut, walau akibatnya kakiku sakit terinjak ujung karang yang keras. Diantara karang-karang itu aku sering menemukan ikan berwarna pelangi, atau ikan batu yang tertutup pasir. Aku juga melihat kepiting sebesar jempol orang dewasa berpindah dari satu karang ke karang yang lain. Air laut di batu karang rendah dan jernih, walau beriak tapi tidak galak. Kadang ada rumput laut yang nyangkut, benda itu menggelepar-gelepar ditampar ombak. Aku sering mengambilnya, memperhatikan dengan minat, lalu akan kulempar kembali ke laut lepas. Rumput laut terbawa ombak, berlari menjauh lalu entah kapan, dia akan kembali.
Hari ini aku ingin bermain ke karang tersebut, menangkap ikan pelangi, mencari tahu larinya kepiting atau mencari Umang-Umang, binatang yang memiliki rumah dipunggung dan berkaki mirip kepiring. Umang-Umang sangat pemalu. Kalau kita berhasil menangkapnya, binatang itu akan bersembunyi di dalam rumahnya. Untuk membuatnya keluar kita harus menghembus-hembuskan udara di liang rumahnya hingga dia terusik dan mau keluar. Umang-umang sering berjalan cepat, mungkin karena takut ditangkap manusia.
Kakiku tertusuk duri kecil-kecil, ada yang bilang itu bulu babi, tapi aku tidak pernah benar-benar melihat bentuk bulu babi itu sendiri. tapi urusan duri bukan masalah, yang penting aku bisa menangkap ikan pelangi. Jadi, aku meletakkan kulit kerang yang berhasil aku kumpulkan, meletakkannya di atas batu karang dan kemudian aku sibuk menangkapi ikan. Tanganku kecil, mengatup ketika menangkap ikan. Ikan begitu lihai, luwes berlari menghindar hingga aku harus basah terciprat air. Kadang-kadang kudesak ikan sampai ke pinggir karang, si ikan akan kebingungan, dan aku menangkapnya dengan semangat. Ikan masuk dalam tanganku, mengelepar-gelepar karena air cepat habis terkuras akibat tanganku tidak bisa sempurna merapat. Aku merasa iba, dan kulepas ikan itu ke dalam air, si ikan bergerak gesit, lalu meluncur menjauhiku.
Aku bermain sampai menjelang sore. Dengan letih namun bahagia aku berjalan ke atas, dekat segerombolan keluarga sedang menikmati angin pantai sambil makan sore. Tak terasa perutku berbunyi, menegurku. Aku memegang perut sambil meleletkan lidah.
“Kenapa Dik?” sebuah suara ramah menyapaku, “Lapar?” tanyanya ketika melihatku memegangi perut.
Aku menatap seorang ibu gemuk yang tersenyum ramah, matanya berkilau di bingkai kacamata. “Ayo, ikut makan.” Ajak ibu itu padaku. Sebenarnya aku ingin menolak, tapi perutku lagi-lagi menegur dengan bunyi nyaring. Akhirnya aku mengangguk dan ikut duduk di dekat ibu tersebut. Si Ibu dengan ramah menyendokkan nasi pada kertas coklat. Disendokkan pula lauk dan dia bertanya apa aku ingin pakai kuah, aku menangguk saja. Setelah lauk lengkap, si ibu segera menyerahkan kertas coklat tersebut padaku.