Bab XIV
Aku naik ke kelas empat. Walau sekolah melakukan upaya aneh pada raporku, dan kenaikanku masih dipertanyakan, tapi aku tidak melupakan pesan pamanku. "membuktikan diri bahwa aku tidak bodoh, seperti label yang diberikan wali kelasku sebelumnya."
Untuk bisa mencapai harapanku, aku mulai menyusun strategi. Pertama, aku memilih tempat duduk depan dan duduk di samping sang juara kelas. Aku menjadikan juara kelas sebagai garis finisku. walau tidak bisa melampaui sang juara, tapi aku bisa mengekori tempat dibelakangnya. ambisiku demikian tinggi, aku ingin menduduki peringkat dua.
Saat ini wali kelas empatku adalah seorang ibu bertubuh gemuk pendek dengan rambut bergaya laki-laki. Poninya jatuh ke dahi dan sebuah kacamata frame plastik membingai wajah tembem Ibu guruku. Nama wali kelasku yang baru adalah Ibu Juju, perempuan terkenal tegas dan jago matematika. Wajahnya jarang senyum dan selalu serius, tapi bila senyum bentuk kerutan di sekitar pipi akan mengikuti bentuk bibinya yang melebar.
Suatu kali Ibu Juju memberi tugas pada murid kelas empat untuk membawa binatang peliharaan. Dalam waktu seminggu kami akan mengumpulkan binatang peliharaan kami dan Ibu juju akan memeriksa dan menilainya.
Semua anak sibuk saling bercerita tentang apa saja yang ingin mereka bawa nanti ke sekolah. Ada yang bilang mereka memiliki anjing dan akan membawanya ke sekolah, ada yang mengatakan bahwa di rumahnya ada kucing, dan ada juga yang memelihara kelinci, burung dan ikan. Aku benar-benar kagum ketika mendengar cerita dari Eliza bahwa dia memelihara seekor marmut putih yang kecil dan imut. Eliza meletakkan marmutnya dalam kotak kaca mirip akuarium yang diberi sebuah mainan roda putar. Marmut itu kadang-kadang masuk ke dalam mainan roda putar, kakinya yang kecil bergerak memacu roda untuk berputar, lalu si marmut yang imut segera berlari di tempat mengikuti putaran. Kalau Diana beda lagi, dia punya dua ekor kelinci, satu jantan dan satu betina. Kelinci dia beli dari Jakarta, kelinci betina badannya lebih besar dari jantan, warnanya juga lebih kusam, berbeda dengan jantannya yang kecil dan gesit. Kedua kelinci miliknya suka sekali wortel, cara mereka makan juga lucu.
“Gadis, peliharaan kamu apa?”
Peliharaan? Aku berpikir sejenak, dan aku teringat kucing betina warna putih kuning yang selalu numpang makan di rumah. Setiap jam makan dia muncul dan masuk ke rumah, lalu akan berkeliaran di kakiku, mengeong-ngeong lembut minta makan. Biasanya mama akan mengambilkan piring kecil yang diisi nasi sejumput, diberi ikan dan diaduk. kucing itu makan dengan rakus. Dalam sekejab makanan yang diberikan mama habis, lalu dia akan mengeong lagi minta tambah dan bermanja-manja pada kakiku. Tapi mama akan mengusir kucing tersebut, dan si kucing dengan sedih meninggalkan rumah, tapi anehnya kucing itu tidak juga kapok datang ke rumah, dia akan kembali menyelinap sorenya dan minta makan lagi, dan mama kembali akan berbaik hati memberikan kucing itu makan, tapi mama tetap memberlakukan peraturan tidak ada tambahan makanan.
Aku suka kucing itu, jadi ketika dia mampir bukan saat makan, aku suka mengelus-elus bulunya dan bermain dengan ekornya. Suatu kali si kucing belang tidak kembali selama beberapa hari. Aku heran dan menunggu dengan sabar, dan setelah satu minggu si kucing belang muncul di hadapanku, dengan tubuh kurus dan mata yang sayu. Aku memberinya air, dan si kucing menjilatinya, lalu aku berjongkok padanya, bertanya ke mana saja dia selama ini, mendadak si kucing menengadahkan kepalanya menatapku, lalu aku melihat si kucing menangis.
Aku kaget karena baru pertama kali melihat seekor kucing menangis, lalu aku kembali bertanya ada apa dan kenapa si kucing menangis, tapi kucing itu justru menghentikan minum airnya dan melesat menghilang di balik pagar rumahku. Aku mengejarnya sampai tikungan dan aku tidak pernah menemukannya lagi.
Setelah itu, aku tanpa sengaja mendengar cerita ayah bahwa kucing yang selalu mampir kerumah ditabrak oleh motor ayah, dan kejadiannya sudah cukup lama. Aku merasa, mungkin waktu itu arwah kucing tersebut datang padaku untuk mengucap selamat tinggal. Terkadang, bila aku mencoba mengingat airmata kucing tersebut yang menetes dari matanya yang terang berwarna hijau, aku sering merinding sendiri.
Setelah itu aku tidak pernah lagi memiliki seekor hewan yang bisa disebut peliharaan.
“Aku punya ayam. Sebenarnya bukan aku yang punya, tapi kakakku. Dia suka ayam. Nanti aku minta ijin biar bisa dibawa ke sekolah.” ucap Cepi, teman sekelasku.
“Aku punya ikan. Ikan arwana. Aku pasti minta antar papaku untuk membawa arwananya kesekolah,” Sahrul ikut-ikutan nimbrung.
Semua teman-temanku sibuk membanggakan binatang peliharaannya. Mereka sibuk saling bertukar cerita kehebatan binatang peliharaan mereka, dan aku hanya bisa menyimak sambil menelan ludah.
Pulang sekolah aku sibuk berpikir, bisakah aku minta ijin ayah dan mama untuk memelihara binatang. Aku akan katakan pada Ayah dan mama kalau itu tugas sekolah, mungkin dengan begitu mereka akan mengijinkanku memelihara binatang.
Ketika aku pulang sekolah, Nurul teman mainku di rumah mendadak menghampiriku dengan wajah serius, lalu dia berkata, “Gadis, sini deh. Ikut aku. Ada yang seru!” ucap Nurul padaku.
“Ada apa sih. Aku mau pulang dan makan nih,” jawabku heran.
“Pokoknya ikut saja. Kamu pasti kaget!” Nurul dengan tidak sabar menarik lenganku untuk mengikuti dia.
Aku mengikuti Nurul sambil bertanya dalam hati, ada apa? Nurul membawaku ke lapangan tempat kami biasa bermain. Di lapangan Aisyah sudah menunggu sambil berjongkok di depan sebuah kardus. Ketika dia melihat aku dan Nurul datang, wajahnya seperti berkobar.
“Lihat Gadis, lihat deh…” ucap Nurul sambil menunjuk-nunjuk kardus di depan Aisyah. Aku pun melongokkan kepalaku ke dalam kardus, dan betapa terkejutnya aku melihat apa isi kardus tersebut. Dua ekor anak anjing warna coklat belang hitam. Anak-anak anjing itu saling melingkarkan tubuhnya untuk menghangatkan diri, wajah mereka tampak lugu dan lucu.
Aku ikut-ikutan berjongkok di dekat Aisyah yang kemudian memasukkan tangannya ke dalam kardus, lantas membelai-belai bulu anak anjing. Anak anjing itu diam saja, masih tetap saling melingkarkan tubuh mereka.
“Dari mana anak anjing ini?” tanyaku pada Aisyah.
“Aku juga menemukannya baru saja. Kayaknya dibuang,” ucap Aisyah menjelaskan.
“Lucu ya.” kata Nurul sambil ikut-ikutan berjongkok di sisiku, “aku ingin sih memelihara anjing ini. Tapi adikku alergi bulu.” Jelas Nurul padaku.
“Aku juga ingin, tapi Masruroh benci binatang. Bakal perang di rumah. Lagipula bapakku belum tentu mengijinkan.” Aisyah bersuara, ada nada menyesal di dalam suaranya.
“Gimana kalau Gadis saja yang pelihara,” ujar Nurul padaku akhirnya, “tadi kita berdua juga udah mikir begitu kok.”
“Aku sih ingin,” ucapku, “Tapi apa boleh ya?”
Kami bertiga saling diam dan memandangi kedua anak anjing dalam kardus. Anak anjing tersebut lucu, memutar-mutar ekornya dan mulai saling berdiri. Keduanya kini memandangi kami dengan ceria.
Setelah melihat anak anjing itu, aku pun bertekat untuk meminta pada mama agar diijinkan memelihara anak anjing itu. tentu saja aku harus menyusun kata-kata terbaik agar tidak memancing kemarahan mama.
“Tidak!” ucap mama dengan wajah yang tenang.
“Tapi Ma,”
“Kalau mama bilang nggak, ya nggak. Kamu mau melawan?”
Aku mengeleng, takut kalau mama sudah mendelik marah. Mama kalau sudah marah bisa mencubit kesal, dan aku tidak mau merasa sakit lagi hari ini, maka aku pun mundur secara teratur. Aku teringat anak anjing yang lucu itu. Tubuh mereka kecil, aku bisa mengendong dan menimang-nimangnya.
Aku kembali lagi menemui Aisyah dan Nurul yang sudah memindahkan kardus tersebut di dekat rumah Dini. Dini mau meminjamkan halaman samping rumahnya untuk menampung anak anjing itu, tapi kata Dini itu hanya untuk sementara, karena kedua orangtuanya pun tidak menyukai ada anak anjing di rumah. Katanya najis.
Aku menceritakan bahwa mamaku tidak bersedia untuk menampung anak anjing di rumah. Nurul, Aisyah dan Dini jadi merasa kecewa mendengar kabar yang kuberikan. Padahal semula mereka berharap anak anjing itu bisa aku tampung.
“Kasihan ya. Aku tidak bisa memikirkan bahwa kita harus membuang mereka lagi di tempat sampah,” ucap Aisyah dengan suara yang sedih.
Nurul mengangguk, “Jahat sekali orang yang membuangnya!”
“Padahal mereka lucu-lucu,”Dini menimpali sambil membelai-belai bulu si anak anjing.
“Sekarang gimana?” tanyaku akhirnya.
Dini mengeleng, lalu memandang ke arah Aisyah. Nurul pun menunduk dalam-dalam dan kehilangan kata-kata.
“Apa mereka akan dibuang lagi?” tanyaku kembali.
Ketiga temanku diam, agak lama dan kemudian Aisyah mengangguk, lehernya terasa berat ketika mengangguk, seperti ada sepotong besi diletakkan di atas kepalanya.
“Itu tidak adil!” sentakku akhirnya.
“Memangnya kita bisa apa, Gadis?” Dini pun bersuara.
“Kita cari orang yang mau memeliharanya. Kita nggak bisa ngebiarin anjing ini dibuang gitu aja, bisa mati!” ucapku dengan penuh keberanian.
Ketiga temanku saling berpandangan, kebingungan. Tapi kemudian mereka akhirnya mengangguk menyetujui. Bagaimanapun kami tidak bisa membiarkan anak anjing lucu ini mati karena tidak memiliki orang yang memeliharanya. Kami sudah diserahi tugas oleh Tuhan ketika kami menemukan anak anjing tersebut. Kami harus membuat anak anjing ini tetap hidup.