BAB XVI
Terluka
Di kelasku kedatangan seorang murid pindahan, namanya Lucy. Tapi kami biasa memplesetkan namanya menjadi Luki. Dia seorang anak perempuan tinggi besar dengan dada yang sudah merekah. Kata Luki dia sudah mengenakan BH, ukuran 32 A. anak-anak suka memanggilnya si bongsor, karena tubuhnya meraksasa. Luki pindah ke SDku karena tidak naik kelas di SD nya yang dulu. Karena malu Luki pindah sekolah. Seharusnya Luki sudah kelas 6 SD, tapi dia harus mengulang karena cara berpikirnya yang bolot.
Luki itu anak orang kaya, rumahnya gedong ( ungkapan yang sering diceletukkan anak-anak untuk menunjukkan rumah yang besar) bercat putih. Semua anak mula-mula senang berteman dengan Luki yang kaya dan senang mendesak Luki untuk mentraktir mereka makan gorengan Mpok Siti. Luki selalu kesulitan untuk menolak, dia pun lebih banyak menurut daripada menolak dan dihina.
Luki itu gampang menangis dan mudah dibodoh-bodohin. Satu lagi hal yang membuat dia jadi ejekan yaitu kebiasaanya suka menghisap jempol. Luki bilang itu kebiasaan yang belum bisa hilang, bahkan kadang dia masih suka ngompol. Awalnya aku bingung, dan kemudian mengusulkan pada Luki untuk memakai capung yang digelitikan dipusar. Mungkin dengan begitu kebiasaan ngompol Luki bisa terhenti, tapi Luki terlalu geli pada capung dan enggan melakukannya.
Kemudian aku mendengar cerita dari Luki sendiri, bahwa dia mengalami pertumbuhan mental yang terhambat karena ketika kecil dia pernah demam tinggi. Orangtuanya bilang itulah salah satu alasan mengapa daya tangkap Luki hampir sama dengan anak kelas 2 SD. Karena hal tersebutlah kedua orangtuanya tidak pernah memaksa Luki untuk berprestasi. Aku pun jatuh iba pada Luki yang menjadi bulan-bulanan beberapa anak karena pola pikirnya yang telmi, makanya aku bersedia berteman dengannya.
Diantara aku dan Luki ada Reka. Dia seorang anak perempuan dengan rambut potongan bob, wajah yang jarang senyum dan sikap yang tertutup. Aku tidak bisa menolak kehadiran Reka karena untuk berteman dengan Luki tidak bisa sendirian, aku butuh orang yang bisa suatu saat nanti membela Luki bila dia diejek.
Suatu kali aku, Luki dan Reka bermain di bukit-bukit kecil di depan sekolah. biasanya aku menghindari main di sana, karena bukit itu dipagar, dan menurut orang cukup berbahaya. Tapi aku nekat dan mengajak Luki dan Reka untuk bermain di sana. Kami akan menyaru seperti pendaki, yang mendaki puncak gunung. Tentu saja kami akan berpura-pura bahwa jalan menuju ke sana demikian melelahkan dan terjal, dan kami akan bersenang-senang dan bergembira bila telah sampai di atasnya. Kalau sudah sampai di atas bukit kecil tersebut, aku akan berkata pada Luki dan Reka.
“Hei, lihat. Rumah terlihat kecil! Dan itu sekolah kita…begitu kecil!!” ucapku dengan perkasa.
Kami terus menyusuri jalan dengan hati-hati, seakan di bawah kami tengah menganga sebuah jurang sangat gelap. Tangan kurentangkan untuk menjaga keseimbangan. Di belakang, Luki dan Reka mengikuti. Mendadak tiba-tiba Reka mendorongku karena hilang keseimbangan. Aku terperanjat dan tidak sempat berpengangan. Tubuhku merosot ke bawah, disambut oleh rerumputan. Aku menahan laju jatuhku dengan kaki, tapi karena tanahnya landai, aku tidak bisa menghentikan tubuhku yang terus meluncur. Bukit itu pendek, hingga dalam waktu singkat aku sudah sampai di bawah, dengan sebelah kaki yang masuk rerumputan.
Reka dan Luki mengikuti dengan berjalan pelan-pelan menurun, mereka berdua cemas karena aku jatuh tiba-tiba.
“Gadis, tidak apa-apa?” tanya Luki sambil memegang lenganku.
Sebenarnya aku ingin berkata aku tidak apa-apa. tapi aku merasa kaki kananku yang masuk rerumputan seperti dialiri sesuatu yang dingin. Aku segera menarik kakiku, dan betapa terkejutnya aku melihat cairan berwarna merah kental terus mengalir tanpa henti di kakiku. Sumber berwarna merah itu berasal dari lututku yang terluka.
“Gadis, kamu berdarah!” Reka menjerit tegang.