BAB XVII
Belajar Bertanam
Aku mendapat sebuah kejutan manis. Mutasor datang menjengukku sambil menyerahkan sepucuk surat padaku, dari Sihar. Amplopnya biru dengan tulisan tangan tersusun rapih. Ketika aku membuka surat tersebut, aroma yang segar menyelinap ke dalam hidungku. Surat itu wangi. Seperti habis dicelupkan pada air bercampur sabun mandi.
Aku sangat senang dan buru-buru ingin membaca, berita tentang Sihar selalu membuatku rindu.
Gadis.
Aku diberi tahu kalau kamu terluka. Tidak apa-apa kan? Sakit nggak? Kalau sakit ditahan ya, pakai mantra, yang sakit diusap-usap dan bilang tidak sakit lagi-tidak sakit lagi. mudah-mudahan itu manjur.
Sebenarnya aku ingin datang ke sana dan menjenguk kamu. Tapi sepertinya agak sulit, ada masalah yang tidak bisa diceritakan pada Gadis, tapi suatu saat kalau sempat pasti aku cerita.
Aku berharap mudah-mudahan dengan surat ini, kamu merasa lebih baik. Oh iya, aku menghadiahkan kamu sebungkus biji-bijian. Gadis dulu pernah cerita kan, menemukan buku tentang cara berkebun dan ingin sekali berkebun. Waktu membeli biji-bijian itu, aku membayangkan Gadis sedang menanamnya. Pasti senang.
Aku bingung mau ngomong apa lagi, tapi aku kangen sama Gadis. Sudah dulu ya. Nanti kalau berkebunnya sukses beritahu lewat surat.
Sihar
Di dalam amplop aku menemukan sebuah kantong kecil yang di dalamnya terdapat beberapa biji-bijian. Entah biji apa saja di dalamnya. Tapi terasa mengasyikkan ketika aku menebak-nebak apakah yang nantinya akan tumbuh menyembul dari bumi. Kakiku belum seluruhnya pulih, tapi kalau untuk bergerak aku bisa. Aku cukup berjalan dengan menyeret kaki kanan, karena kaki kananku tidak bisa ditekuk.
Halaman rumahku luas, karena mama juga suka bercocok tanam. Di halaman ada pohon jeruk yang anehnya tidak pernah berbuah. Aku selalu heran dan bertanya-tanya mengapa jeruk di tengah halaman tidak juga berbuah walau sudah hampir separuh usiaku. Dahulu ayah menjelaskan karena tanah di sekitar sini berupa tanah gambut bekas rawa, makanya tumbuhan seperti jeruk susah tumbuh. Aku tidak tahu apakah itu fakta yang benar atau tidak, tapi kenyataan telah membuktikan bahwa pohon jeruk itu tidak pernah berbuah benar-benar. Kalaupun dia berbunga, bunga itu langsung layu dan mati.
Masalahnya adalah apakah biji dari Sihar bisa tumbuh di halaman rumahku? Aku tidak tahu, makanya aku jadi ingin tahu. Aku mengambil sekop kecil yang diletakkan di samping rumah, segera aku memilih posisi yang tepat dari biji yang aku tanam. Aku menanamnya di dekat pagar. Aku mengambil biji secara acak, lalu menanamnya sambil menepuk-nepuk tanah dan berdoa, semoga kelak bisa tumbuh dan berbuah.
Aku menanam tiga biji dengan jarak yang berbeda-beda. Walau dengan terpincang-pincang berjalan di halaman, tapi hati terasa puas. Suatu saat, akan tumbuh sebuah pohon baru, menjulang dan berbuah. Lalu, si pohon jeruk akan malu, maka dia pun akan terpacu untuk berbuah pula.
Untuk Sihar
Biji yang Sihar kirim sudah Gadis tanam tiga. Nggak tahu apa akan berbuah atau tidak, bahkan Gadis juga nggak tahu biji apa itu.
Masih ada tiga biji lagi, tapi Gadis belum berani untuk menanamnya. Tidak apa-apa kan?
Gadis setiap hari menengok dengan hati berdebar-debar, kira-kira pohon seperti apa yang tumbuh. Kalau pohon itu berbuah, tentu Sihar orang pertama yang akan Gadis beritahu, dan kalau buahnya banyak, Gadis akan mengumpulkannya dan memberikannya pada Sihar dan si gila. Bagaimana?
Luka di kaki Gadis juga sudah mulai kering. Kata mama, Gadis akan dibawa ke dokter untuk dicabut benang jahitnya. Kalau semua sudah selesai, Gadis sudah boleh sekolah lagi. Tapi Gadis tetap tidak lupa untuk merawat biji pemberian Sihar.
Sampai sini dulu ya. Nanti Gadis cerita lagi.
Gadis.
Aku mengirim surat lewat Mutasor. Sejak aku meminta pada Sihar dahulu, Mutasor tidak pernah lagi menggangguku. Dari Mutasor aku tahu bahwa Sihar meminta dia menjadi penghubung surat kami, dan tentu saja Mutasor harus menurut, karena Sihar adalah ketuanya. Kadang-kadang, selang seminggu, Mutasor menemuiku, bertanya apa ada sesuatu yang ingin aku sampaikan pada Sihar, maka itu aku memutuskan untuk selalu mengabari Sihar mengenai biji yang kutanam. Karena Sihar pun ingin tahu biji apa kiranya yang pernah dia berikan padaku. Sihar bercerita bahwa dia sendiri pun tidak tahu biji apa itu dan akan tumbuh dan berbuah apa. Maka, aku dan Sihar pun sama-sama berdebar-debar menunggu sesuatu tumbuh dari balik tanah. Walau Sihar tidak pernah bisa aku temui lagi, tapi aku dapat merasakan bahwa kami menunggu hal yang sama.
**
Dalam satu minggu biji yang kutaman sudah mulai menampakkan wujudnya. Bentuknya kecambah yang memaksa jadi raksasa. Aku menebak-nebak apa kiranya pohon yang kutanam itu. Aku menyiramnya dengan rajin, pagi dan sore sambil memperhatikan pertumbuhannya.
“Pohon apa itu Gadis?” tanya mama ketika memperhatikan aku yang duduk di teras rumah sambil memperhatikan sesuatu.
Aku mengeleng, “Nggak tahu.”
Mama menggeleng-geleng kepalanya, “Aneh, masa nanam pohon tapi nggak tahu.”
Dalam dua minggu pohon yang kutanam sudah membesar, dan berbunga. Daunnya melebar seperti kipas, dengan bulu-bulu halus dipermukaanya. Dahannya menjalar di tanah karena aku tidak memasangkan tiang. Mama menyuruhku untuk memasang tiang kayu atau bambu untuk menyangga batang pohon yang kupunya. Saat itu kakiku sudah pulih, luka jahitan sudah menutup dan aku pun sudah bisa mengerakkan kakiku seperti biasa.
“Pasangkan kayu atau bambu. Dia jenis tumbuhan yang menjalar,” saran mama padaku, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya, jadi akhirnya mama pula yang turun tangan dan memasangkan sebuah tiang kayu yang ditancapkan di tanah. Tumbuhan milikku yang lunglai segera ditegakkan dengan penopang kayu tersebut. Melihat pemandangan itu aku merasa seakan melihat pohon tanpa tulang, mereka hanya terdiri dari tulang rawan.
Bunga pada tumbuhan milikku kini sudah mulai menjadi bakal buah, bentuknya kecil dan bulat. Ketika ayah pulang kerja dan melihatku, dia segera menghampiri.
“Oh, ini namanya buah labu.” Kata ayah yang membungkuk di dekatku, “Buahnya bakal besar,” kata ayah sambil memperagakan dengan membuat bulatan dengan rentangan tangannya. Aku memandang dengan kagum, membayangkan buah besar itu yang akan penuh di tangan ayah.
Buah labu. Aku pernah dengar tentang itu, di dalam kisah bawang merah dan bawang putih. Apakah di dalam buah labu yang kutanam akan berisi permata, ataukah lipan dan segala jenis makhluk berbisa?
“Ayah, apa buahnya akan jadi banyak?” tanyaku, “dan besar-besar seperti itu?”
“Tergantung. Kalau dilihat dari pohon ini, dia sudah berbuah dua. Mungkin hanya bisa dua untuk kali ini,” jawab ayah, “terus, pohon yang satu lagi bagaimana?” tanya ayah sambil menunjuk sebuah pohon milikku juga. Dia adalah pohon kedua. Dari awal pertumbuhannya aku sudah tahu bahwa pohon tersebut adalah pohon pepaya, karena ketika tunas pohon tersebut menyembul dari tanah, dia sudah mewariskan daun menjari hingga mudah dikenali.