BAB XVIII
Sihar dan Aku
Mutasor berjongkok sambil menunggu aku berhenti menangis. Aku mengusap-usap mataku dengan ujung baju lengan sambil beberapa kali terisak-isak pilu. Daerah di sekitarku tidak bereaksi, angin pembawa hawa panas menerpa kami berdua, membawa debu-debu tipis yang terbang bertiup di sekeliling. Aku tetap terisak belum mau berhenti. Tapi itu tidak terlalu lama karena kemudian aku pun berhenti menangis dan hanya menyisakan isakan-isakan yang menyesakkan rongga pernapasanku.
“Sudah?” tanya Mutasor ketika aku sibuk menghapus bekas airmata di pipi. Mendengar pertanyaan Mutasor aku melontarkan wajah sebal padanya.
“Padahal aku pikir kamu itu anak yang anti nangis. diganggu seperti apa pun kamu tidak pernah menangis, tapi cuma karena masalah begini kamu nangis, dasar cengeng,” Mutasor berucap agak ketus.
“Kamu mana ngerti!” balasku lebih sinis.
Mutasor bangkit, menekuk lututnya untuk meluruskan tubuh, lalu dia menatapku, “Tapi, mungkin itu yang menyebabkan aku suka sama kamu,” jawab Mutasor cepat dan wajahnya dia palingkan agar aku tidak dapat melihat raut mukanya.
Mutasor bertubuh besar, selama ini aku menganggapnya begitu bebal, tapi siapa sangka Mutasor yang suka berkata kotor dan porno itu sekarang berdiri di dekatku dan menghiburku.
“Gadis, sudah siap pulang?” tanya Mutasor lagi dan aku mengangguk, lalu Mutasor menemaniku selama di perjalanan pulang tanpa berkata-kata. Aku juga memilih diam karena pikiranku begitu padat dengan berbagai macam hal. Hal-hal tentang Sihar yang selama ini tidak pernah aku ketahui, Sihar yang selama ini selalu muncul dihadapanku dengan senyum, dan sekali ini aku melihat Sihar seperti diriku. Mungkin Sihar adalah sebuah alang-alang, yang berada di ujung sungai dan aku mengait erat padanya, bertahan agar tidak tenggelam, tapi alang-alang itu teramat rapuh, kini aku yang harus ganti menyangga alang-alang agar dia tidak tercerabut dari tempatnya berada.
Aku tidak begitu memahami tentang isi dunia ataupun segala macam prasangka. Tapi sejak melihat raut wajah Sihar yang lebam dan mendengar cerita dari Mutasor tentang Sihar, mau tidak mau hatiku mulai mempertanyakan banyak hal. Mengapa ini terjadi pada kami. Mengapa kami menjadi anak-anak yang besar dengan kekerasan. Aku selalu merasa takut dan ngeri membayangkan ujung gesper ayah yang berkilau, tapi dilain hal aku tidak menyangka aku akan menemukan anak-anak yang bernasib sama seperti diriku.
Sihar, Mutasor, dan aku, kami adalah anak-anak yang tumbuh lewat kekerasan. Kami adalah anak-anak yang jatuh ke jurang penyiksaan, tapi kami juga adalah anak-anak yang merindukan terang.
**
“Gila, kamu percaya nggak kalau aku cerita. Tapi kamu harus janji, kamu nggak boleh membocorkan pada siapa pun. Aku bingung bagaimana menceritakannya. Aku…aku…aku,” dan airmataku kembali menetes. Si gila yang bengong kaget melihatku menangis, lalu kepalanya bergerak-gerak memandangku dengan binggung.
Aku menyusut airmataku sendiri dengan telapak tangan, “Mama dan ayah suka memukuliku. Bilang aku bodoh dan nakal. Aku selalu takut pada mereka. Kalau Ayah marah dia selalu memukulku dengan gesper, kalau sedang tidak marah sekali, aku hanya dipecut dengan kulit gerper, tapi kalau sedang marah besar ujung gesper yang dari besi itu pasti mampir ke kakiku, kadang malah ke tangan. Aku pernah luka-luka, tapi aku tidak berani melawan atau menangis, soalnya hukuman bisa lebih berat. Kalau mama, dia suka pakai lidi dan cubitan, kadang tangan. Sakitnya lumayan walau tidak separah pukulan ayah…” aku menyusut lagi linangan airmataku dengan tangan. Wajahku sudah sembab dan basah.
“Tapi, aku nggak tahu kalau Sihar pun sama sepertiku. Bahkan lebih parah. Kata Mutasor badannya malah penuh bekas api rokok. Bibirnya kemarin pecah dan wajahnya biru. Selama ini aku nggak tahu….dan…dan selama ini Sihar selalu tersenyum padaku…” dan aku mulai mengangis lagi, suaraku mulai terbata-bata.
“Kenapa…kenapa kami harus begini. Apa kami tidak bisa lebih disayang. Apa begitu susah sayang pada kami. Kami kan tidak minta dilahirkan….” Aku terus sesungukan.
“Jangan nangis….” ucap si Gila sambil mengeleng-gelengkan kepalanya dengan gelisah, “Jangan nangis…”
Aku menghapus linangan airmataku, lalu menatap si gila yang berbicara. Si gila memonyongkan bibirnya sambil cengengesan, tangannya yang hitam menunjuk-nunjuk aku sambil kepalanya bergerak penuh ingin tahu.
“Benar, Gadis cengeng sekali…” sebuah suara mendadak terdengar dari arah sampingku, suara yang kukenal baik. Aku menengadahkan kepala.
Sihar muncul, tidak tersenyum tapi dia ikut berjongkok di dekatku. Tangannya mengusap-usap kepalaku yang membuatku tidak bisa menahan airmataku sendiri. Aku menangis kembali.
“Kok nangis lagi?” Sihar bertanya heran.
“Habis…….” aku tidak melanjutkan ucapanku dan masih tetap menangis sambil memegang lutut. Telapak tangan kuusap ke pipi untuk mengapus leleran airmata yang terus jatuh.
Sihar menghela napas. “Gadis, jalan-jalan yuk,” ajak Sihar mendadak, sambil memegang tanganku yang masih sibuk menghapus airmata.
Aku menatap ke arah Sihar, menelengkan kepala bingung, “Ke mana?”
“Keliling mesjid saja, gimana?”
Aku mengangguk dan membiarkan Sihar menuntunku meninggalkan si gila yang terkekeh-kekeh sendiri.
“Sihar, masih sakit?” tanyaku sambil menunjuk pada pipinya yang masih terlihat biru walau sudah agak memudar.