BAB XIX
Si Gila
Terjadi keanehan pada si gila, dan aku baru menyadarinya kemudian. Perut si gila membesar secara aneh. Awalnya aku tidak terlalu memperhatikannya, tapi akhir-akhir ini aku merasa ada yang aneh. Tubuh si gila tidak gemuk, bahkan nyaris kurus dan tertutup baju lusuh yang berlapis tidak karuan. Akhir-akhir ini aku merasa, perut si gila menonjol secara ganjil yang membuat aku tidak habis pikir. Si gila pun terlihat berlagak biasa. Tetap tertawa dan cengengesan tanpa beban. Makan si gila masih tetap sama, jorok dan tidak teratur.
Aku kira si gila mengalami kegemukan pada daerah perut, seperti papaku yang perutnya menonjol ke depan, tapi tonjolan itu tetap menganggu perasaanku karena tetap saja terasa aneh. Dan aku mendapati jawaban tersebut kemudian, dari obrolan ayah dan mama yang sempat kukuping ketika menonton televisi.
“Mar, kamu tahu orang gila yang ada di depan kompleks, kan?” tanya ayah pada mama.
“Iya, kenapa?”
“Itulah…” ayah mengambil sebatang rokok, memasang api pada ujungnya. Warna merah menyala sebentar lalu padam berganti asap yang pelan-pelan membumbung, seperti tali panjang warna putih yang menggantung. “Aku tadi baru saja membicarakannya dengan Pak Muklis. Sepertinya orang gila itu hamil.”
“Hamil?!” mama terperanjat, sekarang dia sudah mendekat ke arah ayah dengan wajah ingin tahu sambil menyodorkan asbak rokok.
“Begitulah. Kayaknya ada yang main-main sama orang gila itu.”
“Kok tega sekali…” mama meringis ngeri, dan aku tidak mengerti.
“Ada saja orang jahat seperti itu. Sudah tahu gila malah digauli. Akibatnya si gila melendung. Ck..ck..ck!” Ayah mengeleng-gelengkan kepala.
“Kalau gitu, siapa yang bakal tanggung jawab?” mama bertanya lagi, dan aku semakin ingin tahu dengan perasaan kaget dan bingung yang bertumpuk.
“Aku juga tidak tahu, tapi untuk tanggung jawab, tentu saja tidak ada….”
“Apa anaknya bakal selamat?”
Ayah menghembuskan asap rokok ke udara, abu rokok di percikkan ke asbak, “Entahlah, kalau Allah menghendaki. Mungkin bisa selamat, mungkin tidak.”
“Bagaimana ya. Orang gila yang hamil rasanya jadi aneh. Mungkin orang gila itu sendiri tidak sadar kondisinya. Kesehatannya tidak terjaga. Kalau anaknya lahir sudah suatu keajaiban,” Mama menimpali dengan wajah sedih.
“Masalahnya justru kalau anaknya lahir bukan?” ayah melanjutkan sambil memercikkan abu pada asbak.
“Ah, benar juga…” mama mendesis seakan baru menyadari sesuatu, “Kalau anak itu lahir bagaimana nasibnya.”
“Begitulah. Dengan ibu yang gila begitu apa ada orang yang mau mengambil anak itu. Rasanya pilihan pun hanya satu, sebaiknya anak itu tidak lahir ke dunia.” Ayah menyahuti.
“Kasihan sekali….”
Rasanya suasana di sekitarku meremang. Aku sendiri berada dalam situasi antara rasa kaget dan kebingungan. Si gila hamil?! Itu menjawab keherananku akan perut si gila yang kian hari semakin terasa ganjil.
Akhirnya besoknya sepulang sekolah aku bergegas menuju ke tempat si gila. Seperti biasa, si gila masih bermain sendiri. Wajahnya kosong, kadang nyengir kadang cemberut. Kepalanya bergoyang kiri dan kanan, dan tangannya bergerak tidak berarti. Ketika aku muncul, si gila bereaksi, dia memandang ke arahku, nyengir. Aku lantas berjongkok di depannya dan memandangi si gila yang tertawa lalu kemudian sibuk kembali dengan jari-jarinya. Sepertinya jari-jari tangannya jadi menarik untuk bermain. Si gila sibuk menjaring sinar matahari dengan jari-jarinya yang hitam, bias bayangan tergambar di wajahnya, dan si gila tampak senang.
Aku memerhatikan dengan seksama, seakan tengah menyelidik tiap jengkal misteri, tubuh si gila kutelusuri dengan mata, kupandangi perutnya yang menyembul dari balik baju lusuh berlapis yang sobek sana-sini. Si gila tidak risih, bahkan terkesan tidak ambil pusing akan sikapku yang diam tanpa bicara. Mataku awas mencari tahu, wanita hamil yang bahkan tidak sadar dia tengah hamil.
“Gila…” panggilku. Si gila bereaksi sejenak, dia menoleh padaku sesaat, memandang ke dalam dua mataku, lalu kemudian sibuk kembali dengan jarinya. “Apa kamu akan punya bayi?” tanyaku dan gila tidak bereaksi atas kata-kataku. Dia masih tetap sibuk dengan dunia miliknya sendiri, dunia yang tidak tertebus oleh kenyataan.
Aku berusaha semampuku untuk mencerna setiap kerumitan yang hadir dalam kepalaku. Bagiku seseorang bisa punya bayi ketika dia punya suami, tapi gila tidak memiliki suami, lalu darimanakah kehamilannya datang. Keruwetanku semakin membuatku tersiksa, ada misteri yang tidak bisa aku jawab dan aku telaah dengan pemikiranku yang sederhana.