BAB XX
Masuk Rumah Sakit
Aku masuk rumah sakit, tubuhku luka namun tidak parah. Untung saja mobil tersebut sempat mengerem hingga dia hanya menyerempetku. Tangan, kaki dan kepalaku luka, awalnya banyak darah yang keluar, tapi tidak terlalu parah, aku pun tidak perlu transfusi karena lukanya pun kecil saja. Seorang dokter memeriksaku dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja, hanya perlu diopname selama tiga hari.
Ayah memasukkanku ke dalam kamar kelas satu. Di dalam kamar ada dua tempat tidur dan satu kamar mandi. Pertama kali dalam hidup aku melihat dalamnya rumah sakit dengan gorden hijau dan lantai putih. Dindingnya bersih dan ada meja yang punya laci. Tingginya hampir separuh tubuh orang dewasa. Mama meletakkan di atasnya bermacam barang, diantaranya minuman, buah-buahan, dan cemilan. Di ujung tempat tidurku terpasang sebuah papan tulis putih, kata mama di sana ditulis namaku lengkap, bahkan dengan tambahan nona di depannya. Begini cara tulisnya;
Nn. Gadis Prawidya
Umur 10 tahun
Sebenarnya aku ingin mengintip, dan melihat bagaimana penamaanku ditulis lengkap. Tapi lututku yang cidera tidak sudi untuk ditekuk. Kalau kugeser dan siap untuk kutekuk, maka lututku akan rewel. Rasa nyeri akan menusuk sampai tulang dan aku pun enggan untuk berjalan.
Di samping tempat tidurku ada gorden lebar. Gorden itu dipasang berkeliling seperti pagar. Kalau ditarik gorden itu akan melingkar dan dalam sekejab tempat tidur dan setengah meter ke depan tertutup gorden. Tapi aku tidak pernah menutup gorden secara penuh kecuali perawat datang dan siap mengganti bajuku, baru gorden tertutup sempurna. Gorden itu pun terpasang di tempat tidur sebelah.
Aku melihat ibuku bercakap-cakap dengan penghuni tempat tidur di sampingku. Dia seorang ibu muda, sakitnya biasa, tapi tubuhnya lemah. Ibu itu sudah masuk lebih dulu dariku dan sudah dirawat selama 2 hari. Katanya dia menolak makan hingga terpaksa dipasang infus. Kalau makanan datang dan dia disuruh untuk memakannya tubuhnya menolak dan dimuntahi kembali. Aku sering mendengar suara yang menunggunya memanggil suster kalau ibu itu telah muntah. Katanya muntahnya sampai ke baju dan mengotori seprai tempat tidur. Kalau sudah mendengar suara ibu itu muntah, aku sering merasa gelisah, karena aku merasa isi perutku seakan-akan siap di tenggorokanku hendak keluar. Aku memang mudah merasa jijik, dan itu akan memancing sesuatu di dalam perutku, hingga isinya seakan ditarik ke atas dan siap aku keluarkan.
Makanan rumah sakit rata-rata hambar, aku sering hilang napsu makan di sini, kalau sudah begitu kadang aku membayangkan mie ayam atau baso kupat, kalau sedang membayangkan kedua makanan itu napsu makanku entah mengapa balik dengan semangat, dan aku melahap makanan rumah sakit sambil mengucapkan doa dalam hati, berharap setelah keluar sudah menunggu dua menu makanan kesukaanku.
Pada hari kedua, Mutasor datang menjengukku, tentu saja dengan ibunya. Aku tidak menyangka dia akan datang. Mutasor membawa sekantong apel dan menyerahkannya pada mama yang menungguiku. Ibu Mutasor melihat keadaanku dan bertanya sekedarnya, lalu setelah itu dia ngobrol dengan mama di luar kamar dan meninggalkan aku berdua dengan Mutasor.
“Aku nggak nyangka kamu bakal menjengukku.” Ucapku padanya.
Mutasor mengangguk, “Aku kaget sekali pas tahu kamu tabrakan.”
“Sudah nggak apa-apa kok. Untung mobilnya ngerem, jadi lukanya cuma kecil saja. Besok juga boleh pulang.”
“Sihar juga kaget pas tahu kamu tabrakan.”
“Apa! Sihar tahu?!” aku terbelalak kaget.
“Iya. Dia dengar dari ayahnya. Bukannya ayah kamu dan ayah Sihar berteman?”
“Terus, gimana dia?” aku bertanya mencecar tanpa menjawab pertanyaan Mutasor.
“Dia? Baik.”
“Terus?”
“Hanya itu. Tapi, dia titip surat untukmu. Sebentar,” Mutasor merogoh kantung sakunya dan mengeluarkan sebuah amplop yang dilipat dua dan menyerahkannya padaku.