BAB XXI
Di hari ketiga aku pun akhirnya keluar dari rumah sakit. Ternyata ketika aku tiba di komplek, terjadi menyambutan besar-besaran dari teman-temanku. Dini, Aisyah, Nurul dan Masruroh menyiapkan sebuah kertas besar bertuliskan selamat datang kembali, lalu beberapa anak perempuan yang aku kenal membuatkan aku sebuah kartu, isinya ucapan selamat telah sehat. aku merasa seperti artis yang kerumuni penggemar, seperti gula yang dihampiri segerombolan semut.
“Maaf ya Gadis, kita nggak jenguk kamu di rumah sakit. Padahal niatnya mau sekarang, tapi mama kamu bilang hari ini kamu pulang, jadi kami siapkan saja yang seperti ini. Gimana? Keren kan!” ucap Aisyah mewakili.
“Iya, untuk membuat yang seperti ini sampai semalaman lho. Kita bikin beginian di rumahnya Dini. Sampai nginap segala!” Nurul menjelaskan berapi-api.
“Wah, makasih banget. Bagus!” aku memandangi kertas besar warna-warni tersebut dengan kagum.
“Eh, bahkan Surya juga mengusulkan udunan (bayar rame-rame). Kita-kita beli komik petruk-gareng buat kamu. Kamu suka kan komik itu?” Aisyah kemudian mengeluarkan kantong plastik dan di dalamnya ada sekitar lima buah komik petruk-gareng. Aku bersemangat membacanya, seperti membaca sebuah peta harta.
“Wah, makasih banget ya!” ucapku ceria. Rasanya seperti bertemu Oase di rumah ini. aku bahagia karena kawan-kawanku mengetahui apa yang aku suka, dan itu sangat luar biasa.
“Yang penting Gadis sudah sehat sekarang! Benar kan!” seru Dini yang disambut anggukan teman-teman lain. Mereka semua mengerubungiku. Ada Dini, Nurul, Aisyah, Masruroh, Devi. Ada anak laki-laki di kompleks yaitu Surya, Novi, Haikal, Hakim. Mereka semua berkumpul dan berbicara sahut menyahut. Dalam sekejab kerumunan menjadi penuh sesak oleh tawa dan tanya, dan entah mengapa ada rasa bahagia yang semakin membengkak di dalam dada.
Aku sungguh sangat menyukai komplek ini, dan ketika memikirkan bahwa kebersamaan yang menyenangkan bersama teman-temanku akhirnya harus usai karena penggusuran, itu rasanya menanyakitkan.
Aisyah kemudian mendekat padaku dan berkata dengan suara berbisik, “Dis, kamu dengar tentang penggusuran kan?”
“Iya.”
Aisyah melihat ke arah Masruroh dan Dini, Dini melihat ke arah Nurul dan mereka semua tampak berwajah keruh. Adakah sesuatu yang aku tidak tahu?
“Ada apa?”
“Sebenarnya aku dengar dari ayahku,” sekarang Dini yang berbicara. Ayah Dini adalah RT komplek kami, dia yang terhubung dengan urusan orang dewasa di komplek kami, “Kalau beberapa warga tidak setuju tentang penggusuran.”