Bab XXII
Pertengkaran
Seminggu setelah aku keluar dari rumah sakit, Mutasor menemuiku dan memberitahu bahwa Sihar menungguku di mesjid Al-hadid. Mendengar hal itu aku pun segera pergi ke mesjid dan melihat Sihar sedang duduk di anak tangga yang menghubungkan halaman masjid dengan jalan luar.
Sihar memilih tempat duduk dekat dengan pohon ketapang yang tumbuh di dekat jalur tangga masuk menuju pelataran mesjid, jadinya sinar matahari tidak mengganggu kenyamanan duduknya karena terlindungi rindangnya pohon ketapang.
Memang di sekitar halaman mesjid ada beberapa pohon ketapang yang ditanam, kadang aku dan teman-teman mengumpulkan buah ketapang yang sudah masak, bentuknya seperti kenari yang besar, dan kalau ingin memakannya, kita harus menumbuk kulit ketapang yang keras sampai pecah. Buah ketapang berwarna putih dan rasanya seperti kacang. Aku suka sekali memakannya, kalau sudah musim ketapang, buah itu akan jatuh sendiri di tanah.
Aku mendekat ke arahnya dengan perasaan ganjil yang lagi-lagi mengalir di dalam dadaku serupa dengan aliran darah. Perasaan ganjil itu membuat panas wajah dan dada dan membuat aku merasa seakan melayang di atas awan.
Sihar melontarkan senyuman padaku, senyuman yang membuat aku merasa ada paku yang super besar dan ditusukkan ke dalam dada.
“Duduk Gadis,” ajak Sihar sambil menggapai tanganku dan menariknya. Kontan tubuhku mengikuti perintahnya dan duduk, tapi secara reflek aku bergeser dan duduk agak menjaga jarak.
“Kamu kenapa?” Sihar memperhatikan aku yang mulai merasa gelisah dan duduk agak menjauh.
“Nggak apa-apa,” jawabku cepat-cepat, untuk menyembunyikan jantungku yang melompat-lompat.
“Kok duduknya jauhan gitu. Dekat sini dong!” Sihar menarikku dengan lembut. Tangannya memegang lenganku, aku merasa tubuhku semakin panas dan hatiku jadi tidak nyaman. Tangan Sihar menarikku mendekat dan aku tidak tahan, perasaan ganjil terus merasuk tanpa henti. Lalu aku segera menepis tangan Sihar dengan lenganku. Sihar kaget ketika aku menepis pegangannya yang lembut.
“Gadis?” Sihar hendak bertanya, tapi urung melihat aku makin tertunduk dan menghindari tatapan matanya.
Sihar mendesah, bingung. “Hari ini kamu aneh. Biasanya ribut tidak henti, sekarang jadi diam. Kenapa? Kamu tidak suka aku datang ke sini menemuimu,” tanya Sihar dengan nada suara seakan ditahan di tenggorokan.
Aku ingin berbicara, tapi rasanya ada sekat yang mengganguku untuk berkata-kata, aku juga ingin menatap Sihar, tapi aku merasa ada aliran listrik yang menyetrumku kalau aku coba-coba menatap mata Sihar. Aku benar-benar serba salah.
“Gadis?” Sihar memanggil lagi, dan kali ini segera mendekatkan diri ke arahku. “Kamu kenapa sih?”
Aku menggeleng-gelengkan kepala, “Nggak apa-apa, benar enggak apa-apa. Sihar jangan mendekat!” aku nyaris berteriak ketika Sihar mendekat ke arahku. Semakin dekat Sihar padaku aku merasa jantungku berkejar-kejaran dengan cepat dan itu membuat aku merasa sesak.
Sihar menghentikan sikapnya untuk mendekat. Lalu dengan suara pelan dan lirih bertanya, “Gadis, kamu benci aku?”
Aku mengeleng cepat.
“Kalau gitu, kenapa kamu ketakutan? Apa aku nakutin kamu?”
Aku mengangguk.
“Kenapa?”
“Nggak tahu. Tapi kalau Sihar mendekat aku jadi takut….” Jawabku.
“Kalau aku mendekat, kamu jadi takut?”