Bab XXIII
Bencana di Waktu Malam
Musim hujan sudah datang. Mula-mula rintik lirih kemudian semakin pekat. Suara air hujan yang turun di atap begitu riuh. Aku sangat menyukai suara hujan. Setiap hujan turun, aku akan bergelung di atas kasurku. Aku menikmati setiap titik hujan yang terlontar di atap, mendengarkan suaranya yang teratur seperti detak jantung. Suara hujan mengikuti deras dan tidaknya. Bila deras, suara semakin kuat. Bila reda, suara menjadi lembut.
Namun, tahun ini musim hujan yang biasa menghantam daerah kami menjadi bencana. Air meluap dari parit karena parit yang tersumbat sampah dari supermarket Bintang. Mula-mula banjir itu masuk ke dalam halaman. Rumah kami masih lebih tinggi dari halaman depan. Tapi air tidak berhenti meluap karena hujan terus saja turun selama tiga jam terus menerus. Air mulai naik ke dalam ruang tamu, membanjiri kamar-kamar dan membahasahi sofa kami.
Aku dan Abang sudah naik ke atas kasur tingkat sambil memperhatikan air yang menggenang kamar kami. mula-mula aku dan Abangku bertukar cerita dan imajinasi di antara air yang membahasahi kami.
“Kayak dilautan ya Bang!” kataku.
“Betul. Kita lagi ada di kapal. Lihat Dis, ada Hiu!” Abang menunjuk ke arah lemari kami. dia berpura-pura ada Hiu menyembul dari air yang menggenang lewat lemari. Aku juga mengikuti ide abang untuk berpura-pura.
“Iya benar. Cepat, lajukan kapal! Nanti dia mendekat dan menghantam kapal kita!” seruku kecang.
Abang segera menuju sisi paling ujung kasur, lalu berpura-pura besi teralis pembatas kasur sebagai kemudi kapal. Abang kemudian menggerak-gerakkan teralis seolah sedang mengemudi dengan kecepatan tinggi.
“Ayo! Segera pergi!”
Aku menambahkan dengan ceria, “Abang, ada Kraken!” seruku. Kraken adalah makhluk gurita raksasa yang pernah aku lihat gambarnya di salah satu majalan anak. Begini-begini aku sangat suka cerita dan dongeng-dongeng. Aku cukup handal dalam menggunakan imajinasiku.
Kapal kami melaju dengan kencang menghindari Hiu, Kraken dan Naga yang muncul dari dalam lautan. Kami bermain dengan ceria ditambahi suara hujan yang merdu di luar sana.
Lalu mendadak lampu mati. Aku menjerit karena mendadak sekitar gelap gulita. Abang segera memelukku dan menepuk-nepuk punggungku untuk menenangkan.
“Tenang-tenang Dis, ada Abang di sini. Kamu jangan asal bergerak, kita ini ada di tingkat atas kasur.” Ucap Abang di dekat telingaku.