Gadis Kecil dan Cerita-Ceritanya

Dewi sartika
Chapter #24

Yang Bertanggung Jawab

Bab XXIV

Yang Bertanggung Jawab

Ayah harus memikirkan nasib kami sekeluarga. Banjir ini yang pertama kali terjadi di komplek kami sejak sepuluh tahun yang lalu kami tinggal. Selama ini, sederas apapun hujan yang datang, komplek kami tidak pernah kebanjiran. Kanal parit kami terhubung dengan danau buatan milik Pak Tepu. Jadi, seluruh air yang penuh menghampiri parit di komplek kami akan dialirkan ke danau buatan milik pak Tepuh. Jadi, bila musim hujan tiba, danau buatan Pak Tepuh akan penuh sampai meluber. Tapi karena halaman rumah Pak Tepuh itu luas. Luberan air dari danau buatan tidak akan membuat pemukimannya banjir.

Ini adalah banjir bertama yang sampai memenuhi komplek perumahan kami. ironisnya, rumah pak tepuh tidak kebanjiran karena dia memasang bendungan pengaman. Aku tidak tahu sejak kapan Pak Tepuh mulai memasang kanal di dekat pintu masuk parit. Sepertinya kebijakan itu dia ambil ketika terjadi ribut-ribut warga komplek dengan pihak Supermarket Bintang. Pak Tepuh sudah memperkirakan bahwa sampah dan limbah milik Bintang lamban laun akan membuat wilayah kami terkena imbasnya.

Ayah mengusap tangannya untuk mengusir dingin. Abang sudah ganti baju dan celana sejak sepuluh menit yang lalu, tapi ayah menolak untuk mengganti pakaiannya. Alasannya, karena ayah memang hanya membawa sedikit barang. Diantaranya surat berharga dan beberapa baju. Aku jadi bertanya-tanya apa kami akan menginap di rumah Muthasor. Kalau Muthasor sih mungkin tidak keberatan bila aku menginap. Toh, dia temanku, dan juga Sihar sudah menitipkan aku padanya. Namun Muthasor hanya anak kecil yang tidak akan bisa mengambil kebijakan di rumahnya. Lagipula, Muthasor dan ayahnya memiliki hubungan yang rumit dan buruk, jadi suaranya tidak akan di dengar.

Para pengungsi lain sudah saling berembuk dengan keluarganya. Ada yang mulai sudah meninggalkan lokasi karena mereka ingin pindah ke tempat yang lebih aman. Ada juga yang berbicara dan berembuk dengan keluarga Muthasor untuk bisa mendirikan tenda di halaman rumahnya yang lumayan luas.

Aku menatap ke arah bangunan puing di arah bawah sedikit lebih miring dari sudut rumah muthasor. Bangunan itu dahulu merupakan rumah kosong yang kemudian terbakar akibat Sihar bermain api di sana. Puing-puing itu penuh dengan ilalang, tapi dia tempat yang aman dan tidak terkena banjir karena lokasinya sama tinggi dengan rumah Muthasor. Aku berpikir, apa mungkin kami bisa berteduh diantara puing-puing reruntuhan kebakaran itu. pasti seru sekali tinggal di tempat tersebut. Menjalin kain demi kain untuk menjadi atap penutup. Lalu menggelar tikar keras di lantainya yang berlubang dan tidur di alam terbuka di mana ilalang dan rerumputan menjadi hiburan.

“Kita pindah ke rumah saudara saja.” Kata Mama pada Ayah.

“Tetap saja kita harus menunggu hari menjadi terang. Baru bisa pergi ke rumah saudara.” Kata Ayah sambil memperhatikan sekeliling. Alasan kenapa kami tidak bisa pergi karena hari yang masih gelap.

Tidak berapa lama, beberapa tetangga dari arah atas turun untuk melihat situasi. Beberapa diantaranya bahkan membawa selimut dan juga karpet. Sepertinya banyak yang mendengar bahwa kami semua menjadi korban kebanjiran. Orang-orang yang rumahnya tidak tersentuh banjir dengan sukarela datang membawa makanan, pakaian, tikar, karpet dan selimut lalu berkumpul di depan rumah Muthasor.

Ayah muthasor setuju untuk membiarkan depan rumahnya menjadi tempat penampungan pengungsi sementara. Mereka juga dipersilahkan menggunakan kamar mandi di rumah samping kiri. Dimana memang kamar mandi rumah Muthasor dirancang diluar untuk para pengontrak.

Muthasor mendekat ke arahku, dia membawa selimut tipis yang lembut kepadaku. “Dis, ini, biar tidak dingin,” katanya padaku.

Aku menerima selimut yang diberikannya. Wanginya harum, sepertinya itu selimut baru. Aku teringat ucapan Sihar yang bilang kalau Muthasor mungkin suka padaku. Buktinya, dia sangat baik. Kelakuan bandelnya yang menyebalkan tidak terlihat pada dirinya hari ini.

Pak RT menghampiri Ayah. Mereka memang berteman dekat karena Ayah suka mengobrol dan tukar pikiran.

“Sudah begini keadaannya Pak Muktar. Banjir ini salah satu sebabnya karena limbah dari Bintang.” Ucap pak RT.

Ayah bersidekap dan mengangguk. “Sepertinya percuma meminta bantuan aktivis lingkungan. Tidak ada yang peduli keadaan tempat kita. Biarpun kita kena bencana banjir karena cara pengolahan limbah yang buruk dari Bintang, mereka juga tidak tergerak.”

Lihat selengkapnya